Jumat, 19 Desember 2008

Tentang Keraton Surakarta Hadiningrat


Keraton Surakarta atau dalam bahasa Jawa disebut Karaton Surakarta Hadiningrat, merupakan bekas Istana Kerajaan Kasunanan Surakarta Hadiningrat (1755-1946). Keraton ini didirikan oleh Susuhunan Pakubuwono II (Sunan PB II) pada tahun 1744 sebagai pengganti Istana/Keraton Kartasura yang porak-poranda akibat Geger Pecinan 1743. Istana terakhir Kerajaan Mataram didirikan di desa Sala (Solo), sebuah pelabuhan kecil di tepi barat Bengawan (sungai) Beton/Sala. Setelah resmi istana Kerajaan Mataram selesai dibangun, nama desa itu diubah menjadi Surakarta Hadiningrat. Istana ini pula menjadi saksi bisu penyerahan kedaulatan Kerajaan Mataram oleh Sunan PB II kepada VOC di tahun 1749. Setelah Perjanjian Giyanti tahun 1755, keraton ini kemudian dijadikan istana resmi bagi Kasunanan Surakarta sampai dengan tahun 1946, ketika Pemerintah Indonesia secara resmi menghapus Kasunanan Surakarta dan menjadikannya sebuah karesidenan langsung di bawah Presiden Indonesia.

Kemegahan Arsitektural
Keraton (Istana) Surakarta merupakan salah satu bangunan yang eksotis di zamannya. Salah satu arsitek istana ini adalah Pangeran Mangkubumi (kelak bergelar Sultan Hamengkubuwono I) yang juga menjadi arsitek utama Keraton Yogyakarta. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika pola dasar tata ruang kedua keraton tersebut (Yogyakarta dan Surakarta) banyak memiliki persamaan umum. Keraton Surakarta sebagaimana yang dapat disaksikan sekarang ini tidaklah dibangun serentak pada 1744-45, namun dibangun secara bertahap dengan mempertahankan pola dasar tata ruang yang tetap sama dengan awalnya. Pembangunan dan restorasi secara besar-besaran terakhir dilakukan oleh Susuhunan Pakubuwono X (Sunan PB X) yang bertahta 1893-1939. Sebagian besar keraton ini bernuansa warna putih dan biru dengan arsitekrur gaya campuran Jawa-Eropa.

Secara umum pembagian keraton meliputi: Kompleks Alun-alun Lor/Utara, Kompleks Sasana Sumewa, Kompleks Sitihinggil Lor/Utara, Kompleks Kamandungan Lor/Utara, Kompleks Sri Manganti, Kompleks Kedhaton, Kompleks Kamagangan, Kompleks Srimanganti Kidul/Selatan (?) dan Kemandungan Kidul/Selatan, serta Kompleks Sitihinggil Kidul dan Alun-alun Kidul. Kompleks keraton ini juga dikelilingi dengan baluwarti, sebuah dinding pertahanan dengan tinggi sekitar tiga sampai lima meter dan tebal sekitar satu meter tanpa anjungan. Dinding ini melingkungi sebuah daerah dengan bentuk persegi panjang. Daerah itu berukuran lebar sekitar lima ratus meter dan panjang sekitar tujuh ratus meter. Kompleks keraton yang berada di dalam dinding adalah dari Kemandungan Lor/Utara sampai Kemandungan Kidul/Selatan. Kedua kompleks Sitihinggil dan Alun-alun tidak dilingkungi tembok pertahanan ini.


Kompleks Alun-alun Lor/Utara


Kompleks ini meliputi Gladhag, Pangurakan, Alun-alun utara, dan Masjid Agung Surakarta. Gladhag yang sekarang dikenal dengan perempatan Gladhag di Jalan Slamet Riyadi Surakarta, pada zaman dulu digunakan sebagai tempat mengikat binatang buruan yang ditangkap dari hutan. Alun-alun merupakan tempat diselenggarakannya upacara-upacara kerajaan yang melibatkan rakyat. Selain itu alun-alunmenjadi tempat bertemunya raja dan rakyatnya. Di pinggir alun-alun ditanami sejumlah pohon beringin. Di tengah-tengah alun alun terdapat dua batang pohon beringin (Ficus benjamina; Famili Moraceae) yang diberi pagar. Kedua batang pohon ini disebut Waringin Sengkeran (harifah: beringin yang dikurung) yang diberi nama Dewodaru dan Joyodaru. Di sebelah barat alun-alun utara berdiri Mesjid Ageng (Masjid Raya) Surakarta. Masjid raya ini merupakan masjid resmi kerajaan dan didirikan oleh Susuhunan Pakubuwono III (Sunan PB III) pada tahun 1750 (Kasunanan Surakarta merupakan kerajaan Islam). Bangunan utamanya terdiri dari atas serambi dan masjid induk.


Kompleks Sasana Sumewa dan kompleks Sitihinggil Lor/Utara


Sasana Sumewa merupakan bangunan utama terdepan di Keraton Surakarta. Tempat ini pada zamannya digunakan sebagai tempat untuk menghadap para punggawa (pejabat menengah ke atas) dalam upacara resmi kerajaan. Di kompleks ini terdapat sejumlah meriam diantaranya di beri nama Kyai Pancawura atau Kyai Sapu Jagad. Meriam ini dibuat pada masa pemerintahan Sultan Agung. Di sebelah selatan Sasana Sumewa terdapat kompleks Sitihinggil.


Sitihinggil merupakan suatu kompleks yang dibangun di atas tanah yang lebih tinggi dari sekitarnya. Kompleks ini memiliki dua gerbang, satu disebelah utara yang disebut dengan Kori Wijil dan satu disebelah selatan yang disebut dengan Kori Renteng. Pada tangga Sitihinggil sebelah utara terdapat sebuah batu yang digunakan sebagai tempat pemenggalan kepala Trunajaya yang disebut dengan Selo Pamecat.


Bangunan utama di kompleks Sitihinggil adalah Sasana Sewayana yang digunakan para pembesar dalam menghadiri upacara kerajaan. Selain itu terdapat Bangsal Manguntur Tangkil, tempat tahta Susuhunan, dan Bangsal Witono, tempat persemayaman Pusaka Kebesaran Kerajaan selama berlangsungnya upacara. Bangsal yang terakhir ini memiliki suatu bangunan kecil di tengah-tengahnya yang disebut dengan Krobongan Bale Manguneng, tempat persemayaman pusaka keraton Kangjeng Nyai Setomi, sebuah meriam yang konon dirampas oleh tentara Mataram dari VOC saat menyerbu Batavia. Sisi luar timur-selatan-barat kompleks Sitihinggil merupakan jalan umum yang dapat dilalui oleh masyarakat yang disebut dengan Supit Urang (harfiah=capit udang).


Kompleks Kemandungan Lor/Utara

Kori Brajanala (brojonolo) atau Kori Gapit merupakan pintu gerbang masuk utama dari arah utara ke dalam halaman Kemandungan utara. Gerbang ini sekaligus menjadi gerbang cepuri (kompleks dalam istana yang dilingkungi oleh dinding istana yang disebut baluwarti) yang menghubungkan jalan sapit urang dengan halaman dalam istana. Gerbang ini dibangun oleh Susuhunan Paku Buwono III dengan gaya Semar Tinandu. Di sisi kanan dan kiri (barat dan timur) dari Kori Brajanala sebelah dalam terdapat Bangsal Wisomarto tempat jaga pengawal istana. Selain itu di timur gerbang ini terdapat menara lonceng. Di tengah-tengah kompleks ini hanya terdapat halaman kosong. Bangunan yang terdapat dalam kompleks ini hanya di bagian tepi halaman. Dari halaman ini pula dapat dilihat sebuah menara megah yang disebut dengan Panggung Sangga Buwana (Panggung Songgo Buwono) yang terletak di kompleks berikutnya.

Kompleks Sri Manganti.


Untuk memasuki kompleks ini dari sisi utara harus melalui sebuah pintu gerbang yang disebut dengan Kori Kamandungan. Di depan sisi kanan dan kiri gerbang yang bernuansa warna biru dan putih ini terdapat dua arca. Di sisi kanan dan kiri pintu besar ini terdapat cermin besar dan diatasnya terdapat suatu hiasan yang terdiri dari senjata dan bendera yang ditengahnya terdapat lambang kerajaan. Hiasan ini disebut dengan Bendero Gulo Klopo. Di halaman Sri Manganti terdapat dua bangunan utama yaitu Bangsal Smarakatha disebelah barat dan Bangsal Marcukundha di sebelah timur.

Pada zamannya Bangsal Smarakatha digunakan untuk menghadap para pegawai menengah ke atas dengan pangkat Bupati Lebet ke atas. Tempat ini pula mejadi tempat penerimaan kenaikan pangkat para pejabat senior. Sekarang tempat ini digunakan untuk latihan menari dan mendalang. Bangsal Marcukundha pada zamannya digunakan untuk menghadap para opsir prajurit, untuk kenaikan pangkat pegawai dan pejabat yunior, serta tempat untuk menjatuhkan vonis hukuman bagi kerabat raja. Sekarang tempat ini untuk menyimpan Krobongan Madirenggo, sebuah tempat untuk upacara sunat/kitan para putra Susuhunan.

Di sisi barat daya Bangsal Marcukundha terdapat sebuah menara bersegi delapan yang disebut dengan Panggung Sangga Buwana. Menara yang memiliki tinggi sekitar tiga puluhan meter ini sebenarnya terletak di dua halaman sekaligus, halaman Sri Manganti dan halaman Kedhaton. Namun demikian pintu utamanya terletak di halaman Kedhaton.

Kompleks Kedhaton


Kori Sri Manganti menjadi pintu untuk memasuki kompleks Kedhaton dari utara. Pintu gerbang yang dibangun oleh Susuhunan Pakubuwono IV pada 1792 ini disebut juga dengan Kori Ageng. Bangunan ini memiliki kaitan erat dengan Pangung Sangga Buwana secara filosofis. Pintu yang memiliki gaya Semar Tinandu ini digunakan untuk menunggu tamu-tamu resmi kerajaan. Bagian kanan dan kiri pintu ini memiliki cermin dan sebuah ragam hias diatas pintu. Halaman Kedhaton dialasi dengan pasir hitam dari pantai selatan dan ditumbuhi oleh berbagai pohon langka antara lain 76 batang pohon Sawo Kecik (Manilkara kauki; Famili Sapotaceae). Selain itu halaman ini juga dihiasi dengan patung-patung bergaya eropa. Kompleks ini memiliki bangunan utama diantaranya adalah Sasana Sewaka, nDalem Ageng Prabasuyasa, Sasana Handrawina, dan

Panggung Sangga Buwana.


Sasana Sewaka aslinya merupakan bangunan peninggalan pendapa istana Kartasura. Tempat ini pernah mengalami sebuah kebakaran di tahun 1985. Di bangunan ini pula Susuhunan bertahta dalam upacara-upacara kebesaran kerajaan seperti garebeg dan ulang tahun raja. Di sebelah barat Sasana ini terdapat Sasana Parasdya, sebuah peringgitan. Di sebelah barat Sasana Parasdya terdapat nDalem Ageng Prabasuyasa. Tempat ini merupakan bangunan inti dan terpenting dari seluruh Keraton Surakarta Hadiningrat. Di tempat inilah disemayamkan pusaka-pusaka dan juga tahta raja yang menjadi simbol kerajaan. Di lokasi ini pula seorang raja bersumpah ketika mulai bertahta sebelum upacara pemahkotaan dihadapan khalayak.

Sitihinggil utara.


Bangunan berikutnya adalah Sasana Handrawina. Tempat ini digunakan sebagai tempat perjamuan makan resmi kerajaan. Kini bangunan ini biasa digunakan sebagi tempat seminar maupun gala dinner tamu asing yang datang ke kota Solo. Bangunan utama lainnya adalah Panggung Sangga Buwana. Menara ini digunakan sebagai tempat meditasi Susuhunan sekaligus untuk mengawasi benteng VOC/Hindia Belanda yang berada tidak jauh dari istana. Bangunan yang memiliki lima lantai ini juga digunakan untuk melihat posisi bulan untuk menentukan awal suatu bulan. Di puncak atap teratas terdapat ornamen yang melambangkan tahun dibangunnya menara tertua di kota Surakarta.


Sebelah barat kompleks Kedhaton merupakan tempat tertutup bagi masyarakat umum dan terlarang untuk dipublikasikan sehingga tidak banyak yang mengetahui kepastian sesungguhnya. Kawasan ini merupakan tempat tinggal resmi raja dan keluarga kerajaan yang masih digunakan hingga sekarang.

Kompleks-kompleks Magangan, dan Sri Manganti, Kemandungan, serta Sitihinggil Kidul (Selatan) Kompleks Magangan dahulunya digunakan oleh para calon pegawai kerajaan. Di tempat ini terdapat sebuah pendapa di tengah-tengah halaman. Dua kompleks berikutnya, Sri Manganti Kidul/Selatan dan Kemandungan Kidul/Selatan hanyalah berupa halaman yang digunakan saat upacara pemakaman raja maupun permaisuri. Kompleks terakhir, Sitihinggil kidul termasuk alun-alun kidul, memiliki sebuah bangunan kecil. Kini kompleks ini digunakan untuk memelihara pusaka keraton yang berupa kerbau albino yang disebut dengan Kyai Slamet.

Warisan Budaya (Cultural Heritage)

Selain memiliki kemegahan bangunan Keraton Surakarta juga memiliki suatu warisan budaya yang tak ternilai. Diantarannya adalah upacara-upacara adat, tari-tarian sakral, musik, dan pusaka (heirloom). Upacara adat yang terkenal adalah upacara Garebeg, upacara Sekaten, dan upacara Malam Satu Suro. Upacara yang berasal dari zaman kerajaan ini hingga sekarang terus dilaksanakan dan merupakan warisan budaya Indonesia yang harus dilindungi dari klaim pihak asing.


Garebeg


Upacara Garebeg diselenggarakan tiga kali dalam satu tahun kalender/penanggalan Jawa yaitu pada tanggal dua belas bulan Mulud (bulan ketiga), tanggal satu bulan Sawal (bulan kesepuluh) dan tanggal sepuluh bulan Besar (bulan kedua belas). Pada hari hari tersebut raja mengeluarkan sedekahnya sebagai perwujudan rasa syukur kepada Tuhan atas kemakmuran kerajaan. Sedekah ini, yang disebut dengan Hajad Dalem, berupa pareden/gunungan yang terdiri dari gunungan kakung dan gunungan estri (lelaki dan perempuan).


Gunungan kakung berbentuk seperti kerucut terpancung dengan ujung sebelah atas agak membulat. Sebagian besar gunungan ini terdiri dari sayuran kacang panjang yang berwarna hijau yang dirangkaikan dengan cabai merah, telur itik, dan beberapa perlengkapan makanan kering lainnya. Di sisi kanan dan kirinya dipasangi rangkaian bendera Indonesia dalam ukuran kecil. Gunungan estri berbentuk seperti keranjang bunga yang penuh dengan rangkaian bunga. Sebagian besar disusun dari makanan kering yang terbuat dari beras maupun beras ketan yang berbentuk lingkaran dan runcing. Gunungan ini juga dihiasi bendera Indonesia kecil di sebelah atasnya.


Sekaten


Sekaten merupakan sebuah upacara kerajaan yang dilaksanakan selama tujuh hari. Konon asal-usul upacara ini sejak kerajaan Demak. Upacara ini sebenarnya merupakan sebuah perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad. Menurut cerita rakyat kata Sekaten berasal dari istilah credo dalam agama Islam, Syahadatain. Sekaten dimulai dengan keluarnya dua perangkat Gamelan Sekati, Kyai Gunturmadu dan Kyai Guntursari, dari keraton untuk ditempatkan di depan Masjid Agung Surakarta. Selama enam hari, mulai hari keenam sampai kesebelas bulan Mulud dalam kalender Jawa, kedua perangkat gamelan tersebut dimainkan/dibunyikan (Jw: ditabuh) menandai perayaan sekaten. Akhirnya pada hari ketujuh upacara ditutup dengan keluarnya Gunungan Mulud. Saat ini selain upacara tradisi seperti itu juga diselenggarakan suatu pasar malam yang dimulai sebulan sebelum penyelenggaraan upacara sekaten yang sesungguhnya.


Malam Satu Suro


Malam satu suro dalam masyarakat Jawa adalah suatu perayaan tahun baru menurut kalender Jawa. Malam satu suro jatuh mulai terbenam matahari pada hari terakhir bulan terakhir kalender Jawa (30/29 Besar) sampai terbitnya matahari pada hari pertama bulan pertama tahun berikutnya (1 Suro). Di Keraton Surakarta upacara ini diperingati dengan Kirab Mubeng Beteng (Perarakan Mengelilingi Benteng Keraton). Upacara ini dimulai dari kompleks Kemandungan utara melalui gerbang Brojonolo kemudian mengitari seluruh kawasan keraton dengan arah berkebalikan arah putaran jarum jam dan berakhir di halaman Kemandungan utara. Dalam prosesi ini pusaka keraton menjadi bagian utama dan diposisikan di barisan depan kemudian baru diikuti para pembesar keraton, para pegawai dan akhirnya masyarakat. Suatu yang unik adalah di barisan terdepan ditempatkan pusaka yang berupa sekawanan kerbau albino yang diberi nama Kyai Slamet yang selalu menjadi pusat perhatian masyarakat.


Pusaka (heirloom) dan tari-tarian sakral

Keraton Surakarta memiliki sejumlah koleksi pusaka kerajaan diantaranya berupa singgasana raja, perangkat musik gamelan dan koleksi senjata. Di antara koleksi gamelan adalah Kyai Guntursari dan Kyai Gunturmadu yang hanya dimainkan/dibunyikan pada saat upacara Sekaten. Selain memiliki pusaka keraton Surakarta juga memiliki tari-tarian khas yang hanya dipentaskan pada upacara-upacara tertentu. Sebagai contoh tarian sakral adalah Bedaya Ketawang yang dipentaskan pada saat pemahkotaan raja.


Pemangku Adat Jawa Surakarta


Semula keraton Surakarta merupakan Lembaga Istana (Imperial House) yang mengurusi raja dan keluarga kerajaan disamping menjadi pusat pemerintahan Kesunanan Surakarta. Setelah Kesunanan Surakarta dinyatakan hapus oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1946, peran keraton Surakarta tidak lebih sebagai Pemangku Adat Jawa khususnya garis/gaya Surakarta. Begitu pula Susuhunan tidak lagi berperan dalam urusan kenegaraan sebagai seorang raja dala artian politik melainkan sebagai Yang Dipertuan Pemangku Tahta Adat, pemimpin informal kebudayaan. Fungsi keraton pun berubah menjadi pelindung dan penjaga identitas budaya Jawa khususnya gaya Surakarta. Walaupun dengan fungsi yang terbatas pada sektor informal namun keraton Surakarta tetap memiliki kharisma tersendiri di lingkungan masyarakat Jawa khususnya di bekas daerah Kesunanan Surakarta. Selain itu keraton Surakarta juga memberikan gelar kebangsawanan kehormatan (honoriscausa) pada mereka yang mempunyai perhatian kepada budaya Jawa khususnya Surakarta disamping mereka yang berhak karena hubungan darah maupun karena posisi mereka sebagai pegawai (abdidalem) keraton. Pada saat ini, Keraton Surakarta dipimpin oleh Paku Buwono XIII Hangabehi, putra tertua Paku Buwono XII.


Filosofi dan Mitologi seputar Keraton


Setiap nama bangunan maupun upacara, bentuk bangunan maupun benda-benda upacara, letak bangunan, begitu juga prosesi suatu upacara dalam keraton memiliki makna atau arti filosofi masing-masing. Namun sungguh disayangkan makna-makna tersebut sudah tidak banyak yang mengetahui dan kurang begitu mendapat perhatian. Beberapa diantaranya akan ditunjukkan dalam paragraf berikut.


Cermin besar di kanan dan kiri Kori Kemadungan mengadung makna introspeksi diri. Nama Kemandungan sendiri berasal dari kata mandung yang memiliki arti berhenti. Nama bangsal Marcukundha berasal dari kata Marcu yang berarti api dan kundho yang berarti wadah/tempat, sehingga Marcukundho melambangkan suatu doa/harapan. Menara Panggung Sangga Buwana adalah simbol Lingga dan Kori Sri Manganti di sebelah baratnya adalah simbol Yoni. Simbol Lingga-Yoni dalam masyarakat Jawa dipercaya sebagai suatu simbol kesuburan. Dalam upacara garebeg dikenal dengan adanya sedekah raja yang berupa gunungan. Gunungan tersebut melambangkan sedekah yang bergunung-gunung.


Selain itu keraton Surakarta juga memiliki mistik dan mitos serta legenda yang berkembang di tengah masyarakat. Seperti makna filosofi yang semakin lenyap, mistik dan mitos serta legenda inipun juga semakin menghilang. Sebagai salah satu contoh adalah kepercayaan sebagian masyarakat dalam memperebutkan gunungan saat garebeg. Mereka mempercayai bagian-bagian gunungan itu dapat mendatangkan tuah berupa keuangan yang baik maupun yang lainnya.


Selain itu ada legenda mengenai usia Nagari Surakarta. Ketika istana selesai dibangun muncul sebuah ramalan bahwa kerajaan Surakarta hanya akan berjaya selama dua ratus tahun. Setelah dua ratus tahun maka kekuasaan raja hanya akan selebar mekarnya sebuah payung (Jw: kari sak megare payung). Legenda inipun seakan mendapat pengesahan dengan kenyataan yang terjadi. Apabila dihitung dari penempatan istana secara resmi pada 1745/6 maka dua ratus tahun kemudian pada 1945 Indonesia merdeka kekuasaan Kesusnanan benar-benar merosot. Setahun kemudian pada 1946 Kesunanan Surakarta benar-benar dihapus dan kekuasaan Susuhunan benar-benar habis dan hanya tinggal atas kerabat dekatnya saja.


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Kesalehan Kultural Tradisi ”Syawalan”

Setiap tradisi yang mampu bertahan lama, pastilah melalui proses evolusi kebudayaan yang panjang dan memiliki kesamaan akar historis. Evolusi yang diikuti akulturasi itu, pada akhirnya menimbulkan keselarasan dan kecocokan dengan masyarakat penganutnya. Tesis itu, sangat relevan diajukan guna mengungkap tradisi ”syawalan”, yang dilakukan oleh masyarakat Jawa secara turun-temurun.

Istilah syawalan atau sering disebut halal bihalal, memang berasal dari bahasa Arab. Uniknya, istilah itu tidak dikenal oleh masyarakat Arab, karena memang tidak terdapat dalam tradisi dan kebudayaan mereka. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, syawalan memiliki arti “acara maaf-memaafkan” pada hari Lebaran. Sementara, istilah halal bihalal merupakan kata majemuk yang terdiri atas pengulangan kata ba-hasa Arab halal (baik atau diperbo-lehkan) yang diapit satu kata peng-hubung ba (Quraish Shihab, 1992).

Tradisi syawalan, kata Umar Kayam (1997), merupakan kreatifitas akulturasi budaya Jawa dan Islam. Ketika Islam hendak bersinggungan dengan budaya Jawa, timbul ketegangan-ketegangan yang muaranya menimbulkan disharmoni. Melihat fenomena itu, para ulama Jawa lantas menciptakan akulturasi-akulturasi budaya, yang memungkinkan agama baru itu diterima oleh masya-rakat JaRata Penuhwa. Singkatnya, para ulama di Jawa dahulu dengan segenap kearifannya, mampu memadukan kedua budaya yang bertolak belakang, demi kerukunan dan kesejahteraan masyarakat.

Sungkeman dan Ketupat

Siapa yang mula-mula mengenalkan tradisi syawalan, belum diketahui secara pasti. Menurut Ibnu Djarir (2007), tradisi syawalan dirintis oleh KGPAA Mangkunegara I, yang terkenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa. Dalam rangka menghemat waktu, tenaga, pikiran, dan biaya, maka setelah salat Idul Fitri diadakan pertemuan antara Raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana. Semua punggawa dan prajurit, dengan tertib dan teratur melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri. Tradisi sungkem yang merupakan inti kegiatan syawalan, mengalami perluasan seiring dengan perkembangan zaman. Sungkeman saat ini dilakukan kepada semua orang tua.

Makna sungkeman itu, sejatinya sangat mulia dan terpuji. Sebagai lambang penghormatan kepada yang lebih tua, dan permohonan maaf. Seusai sungkeman, biasanya dilakukan jamuan makan dengan menu utama ketupat yang disebut kupat luar. Bagi masyarakat Jawa, ketupat memiliki makna filosofi yang dalam. Biasanya dibuat dari tiga bahan utama, yaitu janur kuning, beras, dan santan. Janur kuning atau pelepah daun kelapa muda, merupakan lambang tolak bala atau penolak bahaya. Kemudian, beras sebagai simbol kemakmuran, dianggap sebagai doa agar masyarakat diberi kelimpahan kemakmuran setelah hari raya. Sementara santan (sari buah kelapa) yang dalam bahasa jawa disebut santen, berima dengan kata ngapunten, yang berarti memohon maaf

Kata Kupat Luar sendiri berasal dari kata “Pat” atau “Lepat” (kesalahan) dan “Luar” yang berarti di luar, atau terbebas atau terlepas. Maknanya, dengan memakan ketupat, orang diharapkan akan ingat kembali bahwa mereka sudah terlepas dan terbebas dari kesalahan. Selanjutnya, mereka berkewajiban untuk saling meminta dan memberi maaf agar kebebasan itu benar-benar sem-purna. Makna yang lain, ketupat berasal dari singkatan Ngaku Lepat yang berarti mengakui kesalahan. Maknanya, dengan tradisi ketupat diharapkan setiap orang mau mengakui kesalahan, sehingga memudahkan diri untuk memaafkan kesalahan orang lain. Singkatnya, semua dosa yang ada akan saling terlebur bersamaan dengan hari raya idul fitri. Adapun bentuk ketupat yang persegi, menjadi simbol atau perwujudan cara pandang kiblat papat lima pancer. Cara pandang itu menegasikan adanya harmonisasi dan keseimbangan alam: empat arah mata angin utama, yaitu timur, selatan, barat, dan utara yang bertumpu pada satu pusat. Maknanya, manusia dalam kehidupan, ke arah manapun dia pergi, hendaknya tidak pernah melupakan pancer yaitu Tuhan yang Maha Esa.

Merekatkan Persatuan

Kiblat papat lima pancer ini, dapat juga diartikan sebagai empat macam nafsu manusia, yaitu amarah, yakni nafsu emosional, aluamah atau nafsu untuk memuaskan rasa lapar, supiah adalah nafsu untuk memiliki sesuatu yang indah, dan mutmainah, nafsu untuk memaksa diri. Keempat nafsu ini yang ditaklukkan orang selama berpuasa. Jadi, dengan memakan ketupat orang disimbolkan sudah mampu menaklukkan keempat nafsu tersebut. Tradisi syawalan yang dilakukan oleh Pangeran Sambernyawa itu, kini dilestarikan oleh organisasi-organisasi Islam, maupun instansi pemerintah dan swasta dengan istilah halal bihalal. Menariknya, peserta halal bihalal, tidak hanya umat Islam, tetapi seluruh warga masyarakat dari berbagai pemeluk agama, suku, ras dan golongan. Tradisi itu bukan lagi milik umat Islam dan masyarakat Jawa saja, tetapi menjadi milik segenap bangsa Indonesia. Tradisi ini juga kaya dengan kearifan dan kesalehan yang relevan dengan konteks kekinian.

Ia bisa diartikan sebagai hubungan antarmanusia untuk saling berinteraksi melalui aktivitas yang tidak dilarang, plus mengandung sesuatu yang baik dan menyenangkan. Maka, berhalal bihalal, mestinya tidak semata-mata dengan memaafkan melalui perantara lisan atau kartu ucapan selamat saja, tetapi harus diikuti perbuatan yang baik dan menyenangkan bagi orang lain khususnya yang diajak berhalal bihalal.

Syawalan juga merekatkan persatuan dan kesatuan, dan mendorong orang untuk jujur. Adanya kerelaan untuk saling memaafkan, sudah membuktikan mencairnya individualitas, strata sosial, egoisme, sektarian dan sebagainya. Orang juga dituntut untuk jujur, mau mengakui kesalahan dan lantas meminta maaf. Kejujuran dan kerelaan hati untuk memaafkan ini, merupakan terapi psikologis yang sangat ampuh bagi setiap orang. Pasalnya, dengan lepas dan hilangnya dosa-dosa, orang akan merasa damai, tenang dan tentram. Pada akhirnya, dalam masyarakat yang kian terkepung aneka kepentingan primordial atau kepentingan yang mengatasnamakan apa pun yang eksploitatif dan tiranik, penuh konflik kepentingan bahkan sampai pertikaian atau perang, Idul Fitri dengan tradisi syawalannya, diharapkan mampu menghadirkan kesejukan, keharmonisan, dan obat-obat kemanusiaan lainnya.

Oleh : Agus Wibowo

Selasa, 18 November 2008

Sengkalan Dalam Lingkup Budaya Jawa

Sengkalan. Deretan kata berupa kalimat atau bukan kalimat yang mengandung angka tahun, dan disusun dengan menyebut lebih dahulu angka satuan, puluhan, ratusan, kemudian ribuan. Kata-kata yang terdapat dalam sengkalan bukan sembarang kata yang disusun, melainkan dipilih sesuai dengan angka tahun. Deretan kata sengkalan selain sebagai simbol angka tahun juga merupakan simbol konsep-konsep magis tradisional dalam kepercayaan masyarakat. Simbol-simbol ini dapat dipahami maknanya jika dianalisis secara semiotik. Simbol nilai kata yang terdapat dalam sengkalan ada yang langsung menunjukkan angka, tetapi ada juga yang secara tidak langsung menunjukkan angka karena nilai angka tersembunyi dan harus ditelusuri asal mulanya. Biasanya nilai angka yang tersembunyi merupakan kosa kata serapan dari bahasa Sansekerta.
Kata sengkalan secara etimologi berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu Sakakala yang berarti tahun Saka. Saka adalah nama bangsa dari India yang pernah datang ke pulau Jawa dan mengajarkan bermacam-macam ilmu pengetahuan, diantaranya huruf Jawa dan sengkalan. Tahun Saka dimulai ketika Raja Saliwahana atau Ajisaka naik tahta pada tahun 78 Masehi. Sengkalan dalma bahasa asing disebut chronogram (kronogram) yang berasal dari bahasa Yunani chronos yang berarti waktu dan gramma yang berarti huruf atau aksara. Sengkalan berdasarkan bentuknya ada tiga macam, yaitu sengkalan lamba, sengkalan memet, dan sengkalan sastra. Namun jika berdasarkan jenisnya, sengkalan ada dua macam, yaitu suryasengkala dan candra sengkala.

Sengkalan Lamba. Sengkalan yang menggunakan rangkaian kata.
Sengkalan Memet. Sengkalan yang menggunakan lukisan.
Sengkalan Sastra. Sengkalan yang menggunakan huruf Jawa dan sandangannya biasa digunakan pada ukir-ukiran, hiasan keris, dan lain sebagainya.

Suryasengkala. Sengkalan yang menunjukkan angka tahun berdasarkan perputaran matahari. Sengkalan Suryasengkala digunakan pada masa pra-Islam dengan menggunakan tahun Saka. Namun saat ini Suryasengkala jarang digunakan, karena sengkalan yang dibuat tergantung pada kebutuhan, misalnya sengkalan dengan menggunakan tahun Masehi.

Candrasengkala. Sengkalan yang menunjukkan angka tahun berdasarkan peraturan bulan. Sengkalan Candrasengkala digunakan setelah masa Islam dengan memakai tahun Jawa. Tahun Jawa ditetapkan oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma sejak 1 Suro 1555 Jawa, bertepatan 1 Muharam 1043 Hijriah, atau 1 Srawana 1555 Saka, atau 8 Juli 1633 Masehi. Tahun Jawa merupakan perpaduan antara Tahun Hijriah dengan tahun Saka. Pada zaman sekarang sengkalan dapat menggunakan tahun Jawa, Saka, Hijriah atau Masehi tergantung pada sengkalan yang diperlukannya.

Candrasengkala Gancaran, Serat. Buku sastra disusun oleh Panitia Kapujanggan Keraton Yogyakarta. Buku ini hanya membahas mengenai masalah nilai kata dengan menyertakan cara membuat sengkalan.

Gurudasanama. Ketentuan dalam penggunaan kata-kata pada sengkalan dengan cara menggunakan sinonim atau dasar padanan kata. Hal ini dimaksudkan karena kata-kata dalam yang bernilai kata sering menyimpang dari kata pokok (mengalami perubahan).

Gurusastra. Cara menentukan perubahan atau penurunan kata yang digunakan pada sengkalan dengan memakai homograf atau dasar penulisan yang sama. Ketentuan ini ada, katena kata-kata di dalam sengkalan yang bernilai kata sering menyimpang dari kata pokok sehingga mengalami perubahan arti.

Guruwanda. Cara menentukan perubahan atau penurunan kata yang digunakan pada sengkalan dengan memakai dasar sesuku kata. Ketentuan ini dibuat untuk memberi dasar penggunaan kata-kata dalam sengkalan, karena kata-kata di dalam sengkalan yang bernilai kata sering menyimpang dari kata pokok sehingga mengalami perubahan arti.

Guruwarga. Cara menentukan perubahan atau pernurunan kata yang digunakan pada sengkalan dengan memakai dasar sekaum. Ketentuan ini dibuat untuk memberi dasar penggunaan kata-kata dalam sengkalan, karena kata-kata di dalam sengkalan yang bernilai kata sering menyimpang dari kata pokok sehingga mengalami perubahan arti.

Gurukarya. Cara menentukan perubahan atau penurunan kata yang digunakan dengan memakai dasar sekerja. Ketentuan ini dibuat untuk memberi dasar penggunaan kata-kata dalam sengkalan, karena kata-kata di dalma sengkalan yang bernilai sering menyimpang dari kata pokok sehingga mengalami perubahan arti.

Gurusarana. Cara menentukan perubahan atau penurunan kata yang digunakan pada sengkalan dengan memakai dasar sealat. Ketentuan ini dibuat untuk memberi dasar penggunaan kata-kata dalam sengkalan, karena kata-kata di dalam sengkalan yang bernilai kata sering menyimpang dari kata pokok sehingga mengalami perubahan arti.

Gurudarwa. Cara menentukan perubahan atau penurunan kata yang digunakan pada sengkalan dengan memakai dasar sekeadaan atau dalam satu keadaan yang sama. Ketentuan ini dibuat untuk meberi dasar penggunaan kata-kata dalam sengkalan, karena kata-kata di dalam sengkalan yang bernilai kata, sering menyimpang dari kata pokok sehingga mengalami perubahan arti.

Gurujarwa. Cara menentukan perubahan atau penurunan kata yang digunakan pada sengkalan dengan memakai dasar searti atau arti yang sama. Ketentuan ini dibuat untuk memberi dasar penggunaan kata-kata dalam sengkalan karena kata-kata di dalam sengkalan yang bernilai kata, sering menyimpang dari kata pokok sehingga mengalami perubahan arti.

Sengkalan Angka Nol. Angka nol dalam sengkalan disimbolkan dengan kata-kata yang berarti hilang atau segala sesuatu yang tidak ada. Pada sengkalan hanya ada satu kata yang bernilai nol atau kosong, yaitu kata umbul (melesat ke atas) karena segala sesuatu yang telah hilang bernilai nol. Misalnya sengkalan tentang pelaksanaan sekaten tahun 1990, “umbuling puspa gapuranin praja”.

Sengkalan Angka Satu. Angka satu di dalam sengkalan disimbolkan dengan kata-kata yang bermakna satu, kata-kata yang bermakna jumlahnya hanya satu, benda yang bentuknya bulat, kata-kata yang berarti manusia, kata-kata yang berarti hidup dan nyata. Kata-kata pada sengkalan yang bernilai satu adalah jalma, jalmi, janma, kenya, putra, aji, ratu, raja, nata, narpati, narendra, pangeran, gusti, Allah, hyang, maha, bathara, bumi, jagat, budi, buda, budaya, ron, lata, wani, semedi, luwih, nabi, lajer, wiji, witana, praja, bangsa, swarga, puji, piji, harja dan peksi. Kata peksi bernilai satu, namun sebenarnya bernilai dua, karena peksi berasal dari kata peksi (sansekerta) yang berarti burung atau binatang yang bersayap.

Sengkalan Angka Dua. Angka dua di dalam sengkalan disimbolkan dengan kata-kata yang mempunyai makna berjumlah dua, atau berpasangan dan bentuk-bentuk turunannya, serta kata-kata yang bermanka gandheng. Kata-kata pada sengkalan yang bernilai dua, biasanya digunakan kata asta, dwi, kembar, ngelmi, aksa, samya, sembah dan supit.

Sengkalan Angka Tiga. Angka tiga dalam sengkalan disimbolkan dengan kata-kata yang mempunyai makna berjumlah tiga, dan bentuk-bentuk turunannya. Kata-kata pada sengkalan yang bernilai tiga, biasanya digunakan kata guna, katon, saut, sunar, trima, trisula, ujwala, dan wredu.

Sengkalan Angka Empat. Angkat empat dalam sengkalan disimbolkan dengan kata-kata yang berarti air dan kata-kata yang berarti kerja, serta segala sesuatu yang berjumlah empat. Kata-kata pada sengkalan yang bernilai empat ialah kata papat, catur, keblat (arah mata angin), warna (kasta dalam agama Hindu), toya (air), suci dan pakarti.

Sengkalan Angka Lima. Angka lima dalam sengkalan disimbolkan dengan kata-kata yang mempunyai makna berjumlah lima, golongan raksasa, segala macam senjata, kata-kata yang berarti angin, tajam, ilham atau bisikan, perangkap, serta kata-kata yang mempergunakan kata panca. Kata-kata pada sengkalan yang bernilai lima ialah driya (indra), wisaya (cerapan indra), cakra, warayang, tinulup, ati, linungit, yaksa, mangkara, marganing, pasarean, tinata, gati dan pirantining.

Sengkalan Angka Enam. Angka enam dalam sengkalan disimbolkan dengan kata-kata yang berarti rasa, hewan berkaki enam, dan segala sesuatu yang bergerak. Kata-kata pada sengkalan yang bernilai enam ialah kat gana, hangga-hangga, (laba-laba), rasa, sinesep, nikmat, kayu, winayang (digerakkan), rebah (runtuh) dan wisik (pesan).

Sengkalan Angka Tujuh. Angka tujuh dalam sengkalan disimbolkan dengan kata-kata yang mempunyai arti golongan pertapa atau pendeta, gunung, suara, serta binatang yang biasa dipergunakan untuk kendaraan. Kata-kata pada sengkalan yang bernilai tujuh ialah kata pandhita, resi, swara, sabda, muji (pujian, restu, ajar) dan giri (gunung).

Sengkalan Angka Delapan. Angka delapan dalam sengkalan disimbolkan dengan kata-kata yang berarti gajah, binatang melata, dan brahmana. Kata-kata pada sengkalan yang bernilai delapan adalah kata ngesti (memikirkan), madya (tengah), basuki, naga, brahmana, manggala, murti, salira, sarining, dan kata-kata turunan dari kata-kata tersebut.

Sengkalan Angka Sembilan. Angka sembilan dalam sengkalan disimbolkan dengan kata-kata yang mempunyai arti dewa, bunga dan benda-benda yang berlubang atau terbuka. Kata-kata pada sengkalan yang biasanya digunakan untuk menyatakan angka sembilan ialah : kata, trus, trustaning, wiwara, anggatra, gapura, ambuka, makaring, umanjing, sekaring, puspa, kusuma, kembang, dan ngarumake (mengharumkan).

Dwi Naga Rasa Tunggal. Sengkalan yang menunjukkan tahun 1682 tahun Jawa atau 1756 Masehi, yaitu tahun mulai dipergunakannya Keraton Yogyakarta yang baru. Dwi berarti dua, naga melambangkan angka delapan, rasa melambangkan angka enam, dan tunggal berarti satu. Karena sengkalan angka tahunnya diartikan dari belakang maka sengkalan ini berarti 1682 tahun Jawa.

Dwi Naga Rasa Tunggal atau Dua Naga Satu Rasa, menggambarkan dua ekor naga yang sedang bersenggama. Rasa tunggal menunjukkan rasa kebersamaan yang dinikmati oleh kedua Naga tersebut. Dwi Naga menurut lisan yang berkembang di Keraton Yogyakarta adalah dua ekor naga yang diberi nama Kiai Jaga dan Kiai Jigut yang bertugas menjaga keselamatan keraton Yogyakarta beserta seluruh rakyatnya di bumi Mataram. Namun menurut sumber sejarah, sengkalan ini dibuat berkaitan dengan peristiwa berdirinya Keraton Yogyakarta dan peristiwa palihan Nagari, yaitu pecahnya Kerajaan Mataram menjadi Kasultnan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta pada tahun 1682 Jawa atau 1756 Masehi. Sehingga sengkalan itu secara asosiatif bermakna “Dua kekuatan yang secara fisik terpisah namun secara batiniah tetap satu demi terjaminnya kelangsungan hidup dan keselamatan bernegara”.

Dwi Naga Rasawani. Sengkalan yang menunjukkan tahun ditempatinya Keraton Yogyakarta oleh Sri Sultan Hamengku Buwana I pada tahun 1682 tahun Jawa atau tahun 1756 Masehi.

Sengkalan Dwi Naga Rasa Wani berarti “Dua Naga mempunyai perasaan berani”. Sesuai dengan sumber sejarah palihan negara yang ada, maka sengkalan ini bermakna asosiatif “Dua kekuatan yang berani dalam menegakkan kebenaran”, dan bila disesuaikan dengan peristiwa berdirinya Keraton Yogyakarta akan bermakna “Raja dan rakyat harus mmiliki keberanian demi tegaknya keraton Kasultanan Yogyakarta.

Warna Sanga rasa Tunggal. Sengkalan yang menunjukkan tahun pembangunan Bangsal Prabayaksa oleh Sri Sultan Hamengku Buwana I dan ditangani oleh Kiai Riya Sindureja pada tahun 1694 Jawa atau 1768 Masehi. Penyimpanan pusaka Keraton Yogyakarta. Warna berati macam atau hal, sanga berati sembilan, rasa berati perasaan , dan tunggal berarti satu. Jadi sengkalan ini berarti sembilan macam (hal) yang berperasaan satu.

Warna sanga menunjuk pada sembilan macam benda ampilan Sultan yang tersimpan di Bangsal Prabayaksa berupa banyak (angsa) simbol kesucian dan kewaspadaan, dalang (kijang) simbol kegesitan dan kebijaksanaan, sawung (ayam jantan)simbol keberanian, galing (merak) simbol kewibawaan, ardawalika naga simbol pembawa dunia, kacu mas (sapu tangan emas)simbol daya tarik, kandhil (lentera)simbol penerangan hati rakyat, dan saput (tempat segala macam alat) simbol kesiapsiagaan. Jadi makna asosiatif sengkalan tersebut adalah sembilan sikap raja yang merupakan satu kesatuan agar dapat mengemban tugasnya dengan baik.

Trus Manunggal Pandhitaning Rat. Sengkalan yang menunjukkan tahun didirikannya Bangsal Kencana oleh Sri Sultan Hamengku Buwana II pada tahun 1719 Jawa atau 1792 Masehi. Bangsal Kencana adalah sebuah bangunan yang dipergunakan untuk upacara-upacara kebesaran kerajaan, dan tempat raja bertahta di singgasana. Kata trus (terus atau langsung) melambangkan angka sembilan, manunggal (tunggal) melambangkan angka satu, pandhitaning (pandhita= pendeta) melambangkan angka tujuh dan rat (dunia)melambangkan angka satu. Jadi sengkalan ini melambangkan angka tahun 1719 Jawa. Dan dapat diartikan “selalu satu pendeta dunia.

Sekar Sinahut Ing Naga Raja. Sengkalan yang menunjukkan tahun pembangunan Gedong Jene, oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VIII pada tahun 1839 jawa atau 1909 M. Kata sekar (bunga) melambangkan angka sembilan, sinahut (disambar) melambangkan angka tiga, ing (di) sebagai kata bantu, naga (naga) melambangkan angka delapan, dan raja (raja) melambangkan angka satu. Jadi sengkelan ini merupakan melambangkan angka tahun 1839 Jawa, dan dapat diartikan “Bunga disambar oleh naga raja”. Bunga melambangkan kemakmuran dan raja naga melambangkan seorang raja yang besar. Sehingga sesuai dengan fungsi Gedong Jene sebagai tempat tinggal raja, maka sengkalan ini bermakna semboyan bagi raja, yaitu : Kemakmuran yang dibawa oleh raja.

Kaluwihaning Warayang Ngesthi Aji. Sengkalan yang menandai tahun 1851 Jawa atau 1921 Masehi, yaitu tahun penobatan Sri Sultan Hamengku Buwana VIII. Kaluwihaning (kelebihan) berarti angka satu, warayang (panah) melambangkan angka lima, Ngesthi (mendambakan atau memikirkan) melambangkan angka delapan, dan Aji (martabat atau raja) melambangkan angka satu. Sengkalan ini berarti “keunggulan panah mendambakan martabat”. Sengkalan ini juga bermakna “Seorang raja harus mempunyai ketajaman pikiran agar dapat menyejahterakan rakyatnya”. Makna tersebut diambil dari kata warayang (panah) yang melambangkan ketajaman pikiran, dan kata aji yang berarti raja. Jadi sengkalan tersebut sesuai dengan peristiwa penobatan raja, karena seseorang tidak mungkin dinobatkan menjadi raja apabila tidak tajam pikirannya.

Kaluwihaning Yaksa Ngesti Aji. Sengkalan yang menunjukkan tahun penobatan Sri Sultan Hamengku Buwana VIII pada tahun 1851 Jaa atau tepatnya pada tanggal 29 Jumadillawal 1851 Jawa yang bertepatan tanggal 8 Februari 1921 Masehi. Kaluwihaning (kelebihan) melambangkan angka satu, yaksa (raksasa) melambangkan angka lima, ngesthi (mendambakan, memikirkan) melambangkan angka delapan, dan aji (martabat atau raja) melambangkan angka satu. Sengkalan ini bisa diartikan “Kelebihan raksasa membuahkan pujian”. Kaluwihaning yaksa atau kelebihan raksasa disini yang dimaksud adalah dalam hal kekuasaan fisiknya. Jadi makna asosiatif sengkalan ini adalah keunggulan dalam kekuatan fisik harus dimiliki oleh seorang raja agar dapat melindungi dan menyejahterakan rakyatnya.

Jagad Asta Wiwara Narpati. Sengkalan yang menunjukkan tahun 1921 Masehi, yaitu tahun dinobatkannya Sri Sultan Hamengku Buwana VIII, tepatnya pada tanggal 8 Februari 1921 Masehi atau 1851 Jawa. Sengkalan ini dapat diartikan “Dunia membawa pintu raja” yang mempunyai makna sama dengan Hamengku Buwana, yaitu memelihara dunia. Sengkalan yang menandai penobatan Sri Sultan Hamengku Buwana VIII ini ada tiga, jagad asta wiwara narpati, kaluwihaning yaksa ngesti aji dan kaluwihaning warayang ngesthi aji. Ketiga sengkalan ini bila digabung maknanya saling berkaitan atau saling mengisi, yaitu “Raja sebagai pemelihara dunia hendaknya memiliki kelebihan dalam bidang fisik dan mental”. Lihat kaluwihaning yaksa ngesti aji, dan lihat juga kaluwihaning warayang ngesti aji.

Werdu Yaksa Naga Raja. Sengkalan yang menunjukkan tahun pembangunan Bangsal Manis pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwana VIII pada tahun 1853 Jawa atau 1922 Masehi. werdu (lintah) melambangkan angka tiga, yaksa (raksasa) melambangkan angka lima, naga melambangkan angka delapan, dan raja melambangkan angka satu. Jadi sengkalan tersebut dapat diartikan lintah yang besar adalah raja naga, yang melambangkan tahun 1853 Jawa.
Bangsal Manis berfungsi sebagai tempat pesta, tetapi kini digunakan sebagai tempat membersihkan pusaka-pusaka Keraton pada bulan Suro. Jika sengkalan tersebut dihubungkan dennga fungsi bangsal ini, maka werdu yaksa melambangkan kesuburan dan kemakmuran. Linta adalah binatang air, dan air adalah lambang kesbuburan, kemudian cara makan lintah dengan jalan menghisap melambangkan kemakmuran. Sedangkan fase naga raja (raja naga) melambangkan orang yang mengadakan pesta tesrebut, yaitu Raja. Jadi sengkalan tersebut bermakna “Pesta atau upacara resmi jamuan kenegaraan dapat diselenggarakan oleh Raja karena negaranya subur dan rakyatnya makmur”.

Tinata Piranti ing Madya Witana. Sengkalan yang menunjukkan tahun pembangunan kembali Bangsal Witama oleh Sri Sultan Hamengku Buwana VIII pada tahun 1855 Jawa, tepatnya tanggal 27 Rajab 1855 Jawa atau tanggal 23 Februari 1925 Masehi. Tinata (diatur) melambangkan angka lima, Piranti (alat) melambangkan angka lima, ing (di) sebagai kata bantu, Madya (tengah) melambangkan angka delapan, dan witana melambangkan angka satu. Sehingga sengkalan ini dapat diartikan “Peralatan yang diatur di tengah Bangsal Witana”, yang melambangkan tahun 1855 Jawa.

Bangsal Witana adalah tempat pusaka-pusaka Keraton pada saat upacara garebeg, sehingga jika dihubungkan dengan sengkalan tersebut, maka kata piranti (peralatan) yang dimaksud adalah pusaka-pusaka keraton. Jadi makna sengkalan tersebut adalah “Pusaka-pusaka Keraton diatur di tengah Bangsal Witana untuk upacara garebeg”.

Linungit Kembar Gatraning Ron. Sengkalan yang menunjukkan tahun pembangunan kembali Bangsal Witana oleh Sri Sultan Hamengku Buwana VIII pada tahun 1925 Masehi, tepatnya tanggal 25 Februari 1925 Masehi. Linungit (diukir) melambangkan angka lima, kembar (sama) melambangkan angka dua, gatraning (bentuk) melambangkan angka sembilan, dan ron (daun) melambangkan angka satu. Sehingga sengkalan ini melambangkan tahun 1925 dan bisa dibaca “Bentuk daun yang diukir menjadi sama”. Sengkalan ini sesuai dengan ragam hias pada Bangsal Witana, sehingga makna asosiatif sengkalan tersebut adalah “Bangsal Witana yang sangat indah dihiasi ukiran berbentuk daun-daunan yang simetris”.

Pandhita Cakra Naga Wani. Sengkalan yang menunjukkan tahun pembangunan kembali Siti Hinggil oleh Sri Sultan Hamengku Buwana VIII pada tahun 1857 Jawa atau tahun 1926 Masehi. Pandhita (pandeta) melambangkan angka tujuh, cakra (senjata cakra) melambangkan angka lima, naga melambangkan angka delapan, dan wani (berani) melambangkan angka satu. Sehingga sengkalan ini dapat diartikan “Pendeta dengan senjata cakra bagaikan seekor naga yang berani” untuk melambangkan tahun 1857 Jawa.
Siti Hinggil merupakan tempat duduk raja ketika hadir dalam upacara kebesaran, maka sengkalan ini mengandung pengharapan “Semoga raja yang bertahta mempunyai jiwa pendeta, tajam pikirannya, serta pemberani sehingga dapat melindungi dan menyejahterakan rakyatnya”.

Gana Asta Kembang Lata. Sengkalan yang menunjukkan tahun pembangunan kembali Siti Hinggil utara oleh Sri Sultan Hamengku Buwana pada tahun 1926 Masehi. Gana (lebah) melambangkan angka enam, asta (tangan, membawa) melambangkan angka dua, kembang (bunga) melambangkan angka sembilan, dan lata (melata atau merambat) melambangkan angka satu. Sehingga sengkalan ini berarti “Lebah membawa bunga yang merambat”, yang melambangkan tahun 1926 Masehi. Lebah sebagai simbol raja, karena lebah adalah makhluk yang rajin bekerja dan menghasilkan madu yang sangat bermanfaat. Jadi sengkalan ini merupakan sebuah pengharapan, semoga raja dapat membawa kesuburan dan kemakmuran bagi negara dan rakyatnya. Fase kembang lata (bunga yang merambat) juga menunjukkan pada nama tratag Siti Hinggil sebelum dipugar, yaitu tratag rambat.

Panca Gana Salira Tunggal. Sengkalan yang menandai pemugaran Pagelaran oleh Sri Sultan Hamengku Buwana VII pada tahun 1865 Jawa atau 1934 Masehi. Panca (lima) melambangkan angka lima, gana (lebah) melambangkan angka enam, salira (badan) melambangkan angka delapan, dan runggal (satu) melambangkan angka satu. Sehingga sengkalan ini dapat diartikan “Lima lebah satu badan”, yang melambangkan tahun 1865 Jawa.
Pada saat pembangunan kembali Pagelaran ini, Indonesia masih dibawah jajahan Belanda, sehingga makna sengkalan tersebut adalah “Persatuan rakyat Yogyakarta merupakan faktor yang sangat penting dalam pembangunan kembali pagelaran”.

Catur Trisula Kembang Lata. Sengkalan yang menandai pemugaran Pagelaran oleh Sri Sultan Hamengku Buwana VIII pada tahun 1934 Masehi. Catur (empat) melambangkan angka empat, trisula melambangkan angka tiga, kembang (bunga) melambangkan angka sembilan, dan lata (merambat atau melata) melambangkan angka satu. Jadi sengkalan ini berarti “Empat buah trisula adalah bunga yang merambat”.
Kembang lata (bunga yang merambat) sebagai simbol kesuburan dan kemakmuran, sedangkan catur trisula (empat trisula) dapat diasosiasikan sebagai empat arah mata angin sebagai arah sebaran dari berkah raja kepada rakyatnya. Jadi, makna sengkalan ini adalah “Kesuburan dan kemakmuran yang dibawa raja disebarkan kepada seluruh rakyat”.

Catur Naga Rasa Tunggal. Sengkalan yang menandai awal pembangunan Tamansari oleh Sri Sultan Hamengku Buwana I pada tahun 1684 Jawa atau 1757 Masehi. Catur (empat) melambangkan angka empat, naga melambangkan angka delapan, rasa melambangkan angka enam dan tunggal melambangkan angka satu. Jadi sengkalan ini dapat diartikan “Empat naga satu perasaan”, yang melambangkan tahun 1684 Jawa.
Tamansari adalah tempat rekreasi keluarga raja dan berfungsi sebagai tempat pertahanan Keraton Yogyakarta. Sengkalan pada Tamansari ini maknanya adalah “Pembangunan Tamansari akan dapat terwujud apabila ada rasa persatuan dari semua lapisan masyarakat”. Sengkalan ini juga dapat bermakna seruan persatuan seluruh rakyat untuk mengusir penjajah dengan jalan membangun tempat pertahanan.

Lajering Kembang Sinesep Peksi. Sengkalan yang menunjukkan tahun selesainya pembangunan Tamansari pada tahun 1691 Jawa atau 1764 Masehi. Lajering (inti) melambangkan angka satu, kembang (bunga) melambangkan angka sembilan, sinerep (dihisap) melambangkan angka enam, dan peksi (burung) melambangkan angka satu. Sehingga sengkalan ini melambangkan tahun 1691 Jawa. dan dapat diatrikan “Inti bunga dihisap oleh burung”.
Sesuai dengan fungsi Tamansari sebagai tempat rekreasi keluarga raja, kata kembang (bunga) dan peksi (burung) pada sengkalan tersebut melambangkan suasana keindahan. Taman sebagai tempat untuk rekreasi akan terasa asri apabila didalamnya ditanami bunga-bunga yang menyejukkan pandangan mata, dan terdapat burung-burung yang berkicau. Jadi sengkalan ini mengatakan bahwa “Tamansari adalah tempat rekreasi keluarga raja yang sangat indah dan nyaman”.

Gapura Trus Winayang Jalma. Sengkalan yang menunjukkan tahun pembangunan masjid Agung Yogyakarta pada tahun 1699 Jawa atau 1773 Masehi semasa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwana I. Gapura melambangkan angka sembilan, trus (terus) melambangkan angka sembilan, winayang (dibayangkan) melambangkan angka enam dan jalma (manusia) melambangkan angka satu. Jadi sengkalan ini melambangkan tahun 1699 Jawa, dan dapat diartikan “Gapura yang selalu dibayangkan manusia”. Gapura disini sebagai lambang Masjid, maka sengkalan tersebut bermakna “Masjid selalu dibayangkan manusia”, karena fungsi masjid sebagai tempat ibadah sehingga kalimat ini menjadi peringatan bagi manusia agar selalu ingat kepada Tuhan.

Yitna Windu Resi Tunggal. Sengkalan yang menunjukkan pembangunan serambi Masjid Agung Yogyakarta oleh Sri Sultan Hamengku Buwana I pada tahun 1701 Jawa atau 1775 Masehi, yitna (ingat) melambangkan angka satu, windu (pintu atau tetesan air) melambangkan angka nol, resi melambangkan angka tujuh, dan tunggal melambangkan angka satu. Jadi sengkalan ini berarti tahun 1701 Jawa, dan bermakna “Ingatlah pintu seorang resi”. Kata windu menunjukkan ajaran kebenaran, resi menunjukkan orang yang ahli dalam bidang keagamaan, dan tunggal menunjukkan Tuhan yang satu. Sehingga makna asosiatif sengkalan tersebut dalah “perhatikanlah selalu ajaran kebenaran yang telah diajarkan oleh utusan Tuhan.”

Tunggal Windu pandhita Ratu. Sengkalan yang menunjukkan pembangunan Serambi Masjid Agung Yogyakarta oleh Sri Sultan Hamengku Buwana I pada tahun 1701 Jawa (1775 Masehi). Tunggal melambangkan angka satu, windu melambangkan angka nol, pandhita (pendeta) melambangka angka tujuh, dan ratu melambangkan angka satu.Jadi sengkalan ini melambangka angka 1701, dan dapat diartikan “Satu pintu pendeta raja”. Sengkalan tersebut mempunyai makna sesuai dengan fungsi masjid sebagai tempat beribadah, yaitu manusia menyembah hanya kepada satu Tuhan. Frase tunggal windu (satu pintu ) menunjukkan hanya ada satu jalan yang harus dituju, sedangkan frase pandhita ratu (pendeta raja) menunjukkan Sri Sultan sebagai kalifatullah yang berkewajiban menuntun rakyatnya kearah kebenaran,

Pandhita Nenem Sabda Tunggal. Sengkalan yang menandai pembangunan pintu gerbang Masjid Agung Yogyakarta oleh Sri Sultan Hamengku Buwono V pada tahun 1767 Jawa (1839 Masehi). Pandhita (pendeta) melambangkan anagka tujuh, nenem berati enam, sabda melambangkan arti angka tujuh dan tunggal berati satu. Jadi sengkelan ini dapat diartikan “Enam pendeta satu sabda”.yang melambangka tahun 1767 Jawa. Sengkalan tersebut bermakna asosiatif sesuai dengan fungsi masjid sebagai ntemopat untuk mengajarkan ajaran Tuhan. Jadi maknanya adalah para ahlui agama mengajarkan ajaran agama Islam yang berasal dari Tuhan.

Sapta Rasa Pandhita. Sengkalan untuk menandai tahun pembangunan pintu gerbang Masjid Agung Yogyakarta pada tahun 1767 Jawa (1839 Masehi) Sapta berarti tujuh, rasa melambangkan angka enam, pandhita (pendeta) melambangkan angka tujuh, dan ratu melambangkan angka satu, jadi sengkelan ini melambangkan tahun 1767 Jawa, dan dapat diartikan “Tujuh rasa pendeta raja”. Makna asosiatif sengkalan ini menunjukkan tingkatan rasa atau keimanan seorang raja yang pada intinya harus selalu dekat dengan Tuhan.

Bathara Trus Sabdaning Ratu. Sengkalan untuk menandai tahun penggantian atap sirap Msjid Agung Yogyakarta oleh Sri Sultan Hamengku Buwanan VI pada tahun 1791 Jawa (1863) Masehi. Kata Bathara (batara) melambangkan angka satu , trus (terus atau langsung) melambangkan angka sembilan, sabdaning (sabda) melambangkan angka tujuh, dan ratu (raja)melambangkan angka satu. Jadi sengkalan ini melambangka angka tahun 1791 Jawa, dan dapat diartikan “Batara langsung kepada sabda Raja”. Arti sengkalan tersebut sesuai dengan tugas raja sebagai kalifatullah yaitu pemimpin negara dan agama Allah di dunia. Bathara (batara) menunjuk pada hal yang bersifat ketuhanan, dan sabdaning ratu (sabda raja) menunjuk pada perkataan raja yang berupa petunjuk. Makna asosiatif sengkalan tersebut ialah “raja sebagai pemimpin agama mempunyai tugas menyampaikan firman Tuhan kepada rakyat lewat sabdanya”.

Rebahing Gapura Swara Tunggal. Sengkalan yang menunjukkan tahun 1796 Jawa (1867 Masehi) dimana terjadi gempa bumi hebat di Yogyakarta yang mengakibatkan runtuhnya serambi Masjid Agung Yogyakarta. Kata rebahing (runtuhnya) melambangkan angka enam, gapura melambangkan angka sembilan, swara (suara) melambangkan angka tujuh, dan tunggal melambangkan angka satu. Jadi sengkalan ini melambangkan tahun 1796 Jawa, dan dapat diartikan “Runtuhnya gapura suara satu” Frase rebahing gapura menunjukkan peristiwa runtuhnya serambi Masjid Agung, dan frase suara tunggal (suara satu) merupakan simbol kehendak Tuhan. Makna asosiatif sengkalan ini adalah “Runtuhnya serambi Masjid Agung merupakan kehendak Tuhan”.

Warna Murti Paksa Nabi. Sengkalan yang menunjukkan tahun 1284 H (1867) yang menandai runtuhnya serambi Masjid Agung Yogyakarta. Kata warna (keadaan) melambangkan angka delapan, paksa (bagian atau golongan) melambangkan angka delapan, dan nabi melambangkan angka satu. Jadi sengkalan ini melambangkan tahun 1284 H, dan dapat diartikan “Keadaan badan golongan nabi”. Makna asosiatif sengkalan tersebut menunjukkan keadaan umat pengikut nabi, yaitu orang-orang yang selalu berbuat sesuai dengan aturan dalam Al Qur’an dan Hadits Nabi”.

Pandhita Trus Giri Nata. Sengkalan untuk menunjukkan tahun 1997 Jawa (1869 Masehi) yang menandai pemugaran serambi Masjid Agung Yogyakarta oleh Sri Sultan Hamengku Buwana VI. Kata pandhita (pendeta) melambangkan angka sembilan, giri (gunung) melambangkan angka tujuh, dan nata (raja) melambangkan angka satu. Jadi sengkalan ini melambangkan tahun 1797 Jawa, dan dapat diartikan “Pendeta langsung kepada raja gunung”. Maksud giri nata (raja gunung) di sini adalah sebutan Siwa untuk menunjukkan Tuhan. Sehingga makna asosiatif sengkalan tersebut ialah “raja sebagai pemimpin agama bertanggung jawab langsung kepada Tuhan”.

Gati Murti Nembah Ing Hyang. Sengkalan yang menandai tahun pemugaran serambi Masjid Agung Yogyakarta oleh Sri Sultan Hamengku Buwana VI pada tahun 1285 H (1868 M). Kata gati (sepenuh hati) melambangkan angka lima, murti (badan) melambangkan angka delapan, nembah (menyembah) melambangkan angka dua, ing (kepada) sebagai kata depan, dan Hyang (Tuhan) melambangkan angka satu. Jadi sengkalan tersebut melambangkan tahun 1285 H, dan dapat diartikan “Dengan sepenuh hati badan menyembah kepada Tuhan”. Makna asosiatif sengkalan tersebut mengandung peringatan, yaitu “Umat Islam hendaknya sungguh-sungguh dalam melakukan sembahyang”.

Murti Trus Giri Nata. Sengkalan yang menunjukkan tahun pemugaran pintu gerbang Masjid Agung Yogyakarta pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwana VI, yaitu pada tahun 1798 Jawa (1869 M). Kata murti (badan) melambangkan angka delapan, trus (terus atau langsung) melambangkan angka sembilan, giri (gunung) melambangkan angka tujuh, dan nata (raja) melambangkan angka satu. Jadi sengkalan ini melambangkan tahun 1798 Jawa, dapat diartikan “Badan langsung kepada raja”. Sedangkan makna asosiatif sengkalan ini menunjukkan bahwa Masjid adalah tempat berkomunikasi antara manusia dengan Tuhannya, yang bersifat langsung.

Panembahing Ing Ngelmi Ngesthi Puji. Sengkalan yang menandai pembuatan pintu Masjid Agung Yogyakarta oleh Sri Sultan Hamengku Buwana VIII pada tahun 1822 Jawa (1892 M). Kata panembahing (penghormatan) melambangkan angak dua, ing (kepada) sebagai kata depan, ngelmi (ilmu) melambangkan angka dua, ngesthi (memikirkan atau mendambakan) melambangkan angka delapan, dan puji (penghargaan) melambangkan angka satu. Jadi sengkalan ini melambangkan tahun 1822 Jawa. dan mempunyai arti “Penghormatan kepada ilmu mendambakan penghargaan”. Maksud kalimat ini adalah manusia hendaknya mencari ilmu supaya hidupnya menjadi berharga.

Kayu Winayang Ing Brahmana Buda. Sengkalan yang menunjukkan tahun pembangunan Museum Sana Budaya oleh Sri Sultan Hamengku Buwana VIII pada tahun 1866 Jawa (1935 M). Kata kayu melambangkan angka enam, winayang (dibayangkan atau digerakkan) melambangkan angka enam, ing (oleh) sebagai kata depan, Brahmana melambangkan angka delapan, dan Buda melambangkan angka satu. Jadi sengkalan ini melambangkan tahun 1866 Jawa, dan mempunyai arti “Kayu yang digerakkan oleh Brahmana Buda”.
Makna asosiatif sengkalan tersebut adalah “Kehidupan duniawi sebagai kehendak Tuhan”. Makna kayu atau pohon dipadamkan dengan kata kayon (gunungan) yang menggambarkan kehidupan makhluk dan dunia yang digerakkan oleh Tuhan sebagai dalangnya. Makna tersebut sangat sesuai dengan fungsi museum sebagai tempat untuk mempelajari hasil kebudayaan manusia sebagai makhluk Tuhan.

Wiwara Harja Manggala Praja. Sengkalan yang menunjukkan tahun pemugaran Tugu Pal Putih pada tahun 1819 Jawa (1989 M), yang rusak karena gempa bumi. Kata wiwara (pintu) melambangkan angka sembilan, harja (indah atau selamat) melambangkan angka satu, manggala (pemuka, pemimpin) melambangkan angka delapan, dan praja (kerajaan, rakyat) melambangkan angka satu. Jadi sengkalan tersebut melambangkan tahun 1819 Jawa, dan mempunyai arti “Pintu selamat pemuka rakyat”. Maksud kelimat ini sesuai dengan fungsi Tugu Pal Putih sebagai tanda untuk memasuki kompleks Keraton Yogyakarta yang merupakan “Pintu yang membawa keselamatan bagi pemuka rakyat (raja)”.

Asta Manembah Trusing Gusti. Sengkalan untuk menandai peringatan sekaten pada tahun 1922 Jawa (1989 M). Kata asta (tangan) melambangkan angka dua, manembah (menyembah) melambangkan angka dua, trus (terus, langsung) melambangkan angka sembilan, ing (kepada) sebagai kata depan, dan Gusti (Tuhan) melambangkan angka satu. Jadi sengkalan ini melambangkan tahun 1922 Jawa, dan mempunyai arti “Tangan menyembah langsung kepada Tuhan”. Maksud kalimat tersebut sebagai peringatan kepada manusia bahwa yang disembah hanyalah Tuhan dan tidak bisa melalui perantara”.

Anggatra Basuki Sekaring Budi. Sengkalan yang menunjukkan perayaan sekaten pada tahun 1989 M (1922 Jawa). Kata anggatra (membentuk) melambangkan angka sembilan, basuki (keselamatan) melambangkan angka delapan, sekaring (bunga) melambangkan angka semilan, dan budi melambangkan angka satu. Jadi sengkalan ini melambangkan tahun 1989 Masehi, dan mempunyai arti “Keselamatan adalah bentuk bunga dan budi”. Makna asosiatif sengkalan tersebut merupakan peringatan bagi manusia, bahwa manusia dalam kehidupannya akan selalu memetik hasil dari budinya. Hal ini di dalam filofosi Jawa disebut ngundhuh wohing pakarti.

Sunaring Panembah Sekaring Jagad. Sengkalan yang menandai peringatan sekaten pada tahun 1923 Jawa (1990 M). Kata sunaring (sinar) melambangkan angka tiga, panembah (penyembah) melambangkan angka dua, sekaring (bunga) melambangkan angka sembilan, dan jagad (dunia) melambangkan angka satu. Jadi sengkalan ini melambangkan tahun 1923 Jawa, dan mempunyai arti “Sinar penyembah bunga dunia”. Makna asosiatif sengkalan ini adalah “perbuatan manusia pada jalan Tuhan dapat membahagiakan kehidupan di dunia”. Frase sunaring panembah (sinar penyembah) menunjukkan pancaran perbuatan seseorang yang berbakti kepada Tuhan. Sedangkan frase sekaring jagad (bunga dunia) menunjukkan hasil perbuatan yang baik di dunia.

Umbuling Puspa Gapuraning Praja. Sengkalan yang menandai peringatan sekaten pada tahun 1990 M (1923 Jawa). Kata umbuling (melesatnya) melambangkan angka nol, puspa (bunga) melambangkan angka sembilan, gapuraning (gapura) melambangkan angka sembilan, dan praja (kerajaan, negara) melambangkan angka satu. Jadi sengkalan ini tahun 1990 M, dan mempunyai arti “Melesatnya bunga gapura kerajaan”. Makna asosiatif sengkalan ini adalah “Keharuman Yogyakarta menyebar ke seluruh penjuru dunia”, karena sekaten bertujuan untuk mengangkat budaya Yogyakarta sehingga dapat menarik wisatawan dalam dan luar negeri untuk datang berkunjung.

Catur Sembah Trusing Gusti. Sengkalan yang menandai perayaan sekaten dan FKY (Festival Kesenian Yogyakarta) pada tahun 1924 Jawa (1991 M). Kata catur berarti empat, sembah melambangkan angka dua, trusing (terus, langsung) melambangkan angka sembilan, dan Gusti (Tuhan) melambangkan angka satu. Jadi sengkalan ini melambangkan tahun 1924 Jawa, dan mempunyai arti “empat sembah langsung kepada Tuhan”.
Makna asosiatif sengkalan ini merupakan sebuah peringatan untuk manusia, yaitu “Ada empat tingkatan menyembah kepada Tuhan yang harus dilakukan oleh manusia dalam rangka menuju kesempurnaan Illlahiyah”. Empat tingkat (empat sembah) tesrebut meliputi sari’at, tarekat, hakikat dan ma’rifat. Selain kalimat sengkalan ini juga bermakna “Kata-kata sembah yang langsung ditukar kepada Tuhan”, karena kata catur juga berarti perkataan.

Wijining Kusuma Anggatra Budaya. Sengkalan yang menandai perayaan sekaten dan FKY (Festival Kesenian Yogyakarta) pada tahun 1991 M (1924 Jawa). Kata wiji (benih) melambangkan angka satu, kusuma (bunga) melambangkan angka sembilan, anggata (membentuk) melambangkan angka sembilan, dan budaya melambangkan angka satu. Jadi sengkalan ini untuk melambangkan tahun 1991 M, dan mempunyai arti “Benih bunga berbentuk budaya”.
Frase wijining kusuma (benih bunga) menunjuk pada manusia yang berdaya cipta luhur. Sehingga dapat dikatakan makna asosiatif sengkalan tersebut adalah “Manusia yang berdaya cipta luhur akan menghasilkan budaya”, dan dapat ditarik kesimpulan bahwa masyarakat Jawa berbudaya tinggi karena mempunyai daya cipta tinggi.

Janma Umanjing Trusthaning Semedi. Sengkalan untuk menandai MTQ (Musabaqoh Tilawatil Qur’an) Tingkat Nasional di Yogyakarta pada tahun 1991 M (1924 Jawa atau 1411 H). Kata janma (manusia) melambangkan angka satu, umanjing (memasuki) melambangkan angka sembilan, trusthaning (senang) melambangkan angka sembilan, dan semedi (bertapa) melambangkan angka satu. Jadi, sengkalan ini untuk melambangkan tahun 1991 M, dan mempunyai arti “Manusia memasuki kesenangan dalam bertapa”.
Sengkalan ini mengandung makna filosofi, yaitu “Manusia apabila telah melakukan sembayang akan senang bathinnya”. Sengkalan ini juga merupakan peringatan bagi manusia untuk selalu mendekatkan diri kepada Tuhan supaya senang dan tenang hatinya.

Pakartining Panembah Ngarumake Gusti. Sengkalan untuk menandai MTQ (Musabaqoh Tilawatil Qur’an) Nasional di Yogyakarta pada tahun 1924 Jawa (1991 M atau 1411 H). Kata pakartining (perbuatan) melambangkan angka empat, panembah (penyembah) melambangkan angka dua, ngarumake (mengharumkan) melambangkan angka sembilan, dan Gusti (Tuhan) melambangkan angka satu. Jadi sengkalan ini digunakan sebagai lambang tahun 1924 Jawa, dan mempunyai arti “Perbuatan menyembah mengharumkan Tuhan”. Makna asosiatif sengkalan ini ialah perbuatan yang baik akan mengharumkan nama Tuhan, atau perbuatan manusia pada jalan Tuhan berarti menghargai Tuhan yang telah menciptakan dan memberi petunjuk.

Maha Tunggal Angeblat Allah. Sengkalan untuk menandai MTQ (Musabaqoh Tilawatil Qur’an) tingkat Nasional di Yogyakarta pada tahun 1991 M, tetapi menunjuk pada tahun 1411 H. Kata Maha melambangkan angka satu, Tunggal (Esa) melambangkan angka satu, angeblat (menuju, menghadap) melambangkan angka empat, dan Allah melambangkan angka satu. Jadi, sengkalan ini melambangkan tahun 1411 H, dan mempunyai arti “Menghadap Allah Yang Maha Esa”. Sengkalan ini mengandung makna petunjuk bagi manusia, yaitu hanya Tuhan Yang Maha Esa yang pantas di sembah manusia, tidak ada Tuhan selain Allah.

Ujwalaning Manggala Kusumaning Kenya. Sengkalan yang menunjukkan tahun peresmian gedung wanita Mandhala Bhakti Wanitatama oleh Ibu Tien Soeharto pada tahun 1983 M (1916 Jawa). Kata ujwalaning (sinar) melambangkan angka tiga, manggala (kata-kata pujian, pemimpin) melambangkan angka delapan, kusumaning (bunga) melambangkan angka sembilan, dan kenya (gadis, wanita) melambangkan angka satu. Jadi sengkalan ini menunjuk pada tahun 1983 M, dan mempunyai arti “Sinar pemimpin bunga wanita”.

Makna asosiatif sengkalan tersebut menunjukkan emansipasi wanita, sehingga yang digunakan sebagai tempat berbagai kegiatan kewanitaan. Frase ujwaning manggala (sinar pemimpin) menunjukkan bahwa wanita mempunyai kekuatan untuk memimpin. Dan frase kusumaning kenya (bunga wanita) menunjukkan bahwa apa yang dilakukannya merupakan hasil kemajuan pikir wanita. Jadi secara lengkap makna asosiatif sengkalan tersebut adalah “Kemampuan wanita untuk memimpin bangsa karena kemajuan pikiran wanita”.


Ngarsa Piniji Mekaring Bangsa. Sengkalan yang menunjukkan tahun peresmian gedung Mandala Bhakti Wanitatama oleh Ibu Tien Soeharto pada tahun 1983 M, tetapi menunjuk pada tahun 1916 Jawa. Kata ngrasa (merasa) melambangkan angka enam, pijiji (diberi tugas) melambangkan angka satu, mekaring (berkembangnya) melambangkan angka sembilan, dan bangsa melambangkan angka satu. Jadi sengkalan ini menunjuk pada tahun 1916 Jawa, dan mempunyai arti “Merasa diberi tugas untuk mengembangkan bangsa”.
Makna asosiatif sengkalan ini ialah wanita Indonesia sebagai warga negara yang baik merasa diberi tugas untuk mengembangkan bangsa, atau dalam kata lain bahwa peranan wanita dalam pembangunan tidak bisa diabaikan.

Gapura Papat Ambuka Jagad. Peristiwa kembalinya kota Yogyakarta dari pendudukan pemerintah Belanda kepada Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1949 M ditandai dengan sengkalan tahun 1949 M ditandai dengan sengkalan gapura papat ambuka jagad. Sengkalan tersebut terdapat pada Monumen Yogya Kembali. Kata gapura melambangkan angka sembilan, papat berarti empat, ambuka (membuka) melambangkan angka sembilan dan jagad (dunia) melambangkan angka satu. Jadi sengkalan ini menunjuk pada tahun 1949 M, dan mempunyai arti “empat gapura membuka dunia”. Maksudnya adalah peristiwa kembalinya kota Yogyakarta kepada Negara Republik Indonesia masih ada. Frase gapura papat (empat gapura) menunjukkan keempat penjuru dunia, frase ambuka jagad (membuka dunia) menunjukkan pengakuan keberadaan RI oleh dunia. Jadi makna asosiatif sengkalan tersebut adalah “Seluruh dunia hendaknya mengetahui bahwa RI masih hidup walaupun telah berusaha dijajah kembali oleh Belanda”.

Gapura Sinupit Mangkara Manunggal. Makam Imogiri mulai dibangun pada masa pemerintahan Sultan Agung pada tahun 1529 Jawa (1607 M). Peristiwa tersebut ditandai dengan sengkalan gapura sinupit mangkara manunggal. Kata gapura melambangkan angka sembilan, sinupit (dijepit) melambangkan angka dua, mangkara (udang) melambangkan angka lima, dan manunggal (bersatu) melambangkan angka satu. Jadi sengkalan tersebut menunjukan tahun 1529 Jawa, an mempunyai arti “Gapura dijepit oleh udang yang bersatu”. Makna asosiatif sengkalan tersebut sesuai dengan nama gerbang utama makam Imogiri, yaitu gapura supit urang yang terletak pada bagian paling luar dan sekaligus sebagai jalan menuju makan Sultan Agung.

Sucining Driya Marganing Swarga. Sengkalan yang menandai selesainya pembangunan makam Imogiri pada tahun 1554 Jawa (1623 M). Kata sucining (kesucian) melambangkan angka empat, driya (indera) melambangkan angka lima, marganing (jalan, karena) melambangkan angka lima, dan swarga (sorga) melambangkan angka satu. Jadi sengkalan ini menunjukkan tahun1554 Jawa, dan mempunyai arti “Sucinya indera jalannya surga”. Kalimat sengkalan tersebut bermakna asosiatif “Perbuatan baik di dunia merupakan bekal untuk menuju sorga”, yang merupakan seruan bagi umat manusia untuk selalu berbuat baik supaya kelak bahagia di alam baka.

Winayang Rasa Wisayaning Ratu. Sengkalan untuk menandai peresmian Bangsal Duda di kompleks makam Kotagede oleh Sultan Agung Anyakrakusuma pada tahun 1566 Jawa (1664 M). Kata winayang (digerakkan) melambangkan angka enam, rasa (rasa) melambangkan angka enam, wisayaning (kehendak) melambangkan angka lima, dan ratu (Raja) melambangkan angka satu. Jadi sengkalan ini menunjuk pada tahun 1566 Jawa, dan mempunyai arti “Digerakkan oleh rasa kehendak raja”. Makna asosiatif kalimat ini adalah lembangunan Bangsal Duda karena keinginan raja, yaitu atas inisiatif Sultan Agung Anyakrakusuma sendiri.

Hangga-hangga Tinulup Nangisi Putra. Selain sengkalan winayang rasa wisayaning ratu, peresmian Bangsal Duda dikompleks makam Kotagede oleh Sultan Agung Anyakrakusuma pada tahun 1566 Jawa (1644 M) juga ditandai dengan sengkalan hangga-hangga (laba-laba) melambangkan angka enam, tinulup (tersumpit) melambangkan angka enam, nangisi (menangis) melambangkan angka lima, dan putra (anak) melambangkan angka satu. Jadi sengkalan ini melambangkan tahun 1566 Jawa, dan mempunyai arti “laba-laba menangisi anaknya yang tersumpit”. Kata nangisi (menangis) menunjukkan kesediahan karena kehilangan sesuatu, sehingga sengkalan ini sesuai dengan tempatnya yang berada di makam.

Toya Saliran Sembahan Jalmi. Sengkalan yang menandai pemugaran Kolam Salinan di kompleks makam Kotagede pada tahun 1284 H (1867 M). Kata toya (air) melambangkan angka empat, Saliran (nama kolam saliran, atau badan) melambangkan angka delapan, sembahan (pujaan) melambangkan angka dua, dan jalmi (manusia) melambangkan angka satu. Jadi sengkalan ini melambangkan tahun 1284 H, dan mempunyai arti “air saliran pujaan manusia”. Makna asosiatif sengkalan ini menunjukkan bahwa Kolam Saliran yang terlatak di kompleks makam Kotagede dihargai manusia karena fungsinya untuk membersihkan diri. Dahulu kolam saliran ini dikerjakan sendiri oleh Ki Ageng Mataram dan Panembahan Senapati.

Wisiking Trus Pandhita Nata. Selain sengkalan toya saliran sembahan jalmi, pemugaran kolam Saliran di kompleks makam Kotagede pada tahun 1796 Jawa (1867 M) juga ditandai dengan sengkalan wisiking trus pandhita nata. Kata wisiking (bisikan, ilham) melambangkan angka enam, trus (terus, langsung) melambangkan angka sembilan, pandhita (pendeta) melambangkan angka tujuh, dan nata (raja) melambangkan angka satu. Jadi sengkalan ini menunjuk pada tahun 1796 Jawa, dan mempunyai arti “Ilham langsung kepada pendeta raja”. Makna asosiatif kalimat tersebut menunjukkan bahwa ilham untuk memugar Kolam Saliran diterima langsung dari Sri Sultan Hamengku Buwana VI, atau dengan kata lain pemugaran Kolam Saliran dilakukan karena Sri Sultan Hamengku Buwana VI mendapat ilham.

Ngrasa Trus Sabdeng Nata. Pemugaran tembok Masjid Makam Kotagede yang rusak karena gempa bumi di tandai dengan sengkalan ngrasa trus sabdeng nata, yang menunjuk pada tahun 1796 Jawa (1867 M). Kata ngrasa (merasa) melambangkan angka enam, trus (terus, langsung) melambangkan angka sembilan, sabdeng (sabdanya) melambangkan angka tujuh, nata (raja) melambangkan angka satu. Jadi sengketa ini melambangkan tahun 1767 Jawa, dan mempunyai arti “Selalu merasakan sabdanya raja”.
Sengkalan tersebut sesuai dengan fungsi masjid sebagai tempat untuk mengajarkan agama Islam. Makna asosiatif sengkalan tersebut ialah “Umat Islam selalu mersakan sabda raja yang merupakan petunjuk dari Allah”.

Muji Nikmat Sarining Jalmi. Makam Kotagede yang rusak karena gempa bumi diperbaiki pada tahun 1867 M (1796 Jawa). Ditandai dengan sengkalan muji nikmat sarining jalmi. Muji (memuji) melambangkan angka tujuh, nikmat melambangkan angka enam, sarining (sari) melambangkan angka delapan, jalmi (manusia) melambangkan angka satu. Jadi sengkalan tersebut menunjuk pada tahun 1867 M, dan mempunyai arti “Memuji nikmat sari manusia”. Kalimat tersebut merupakan sebuah pengharapan kepada semua manusia, yaitu agar semua manusia mendo’akan para arwah orang yang telah wafat, supaya dapat hidup senang di alam baka. Kata sarining jalmi (sari manusia) menunjuk pada jiwa manusia.

Katon Hati Pangesthining Ratu. Sengkalan yang menunjukkan mulainya pemugaran makam Kotagede oleh Sri Sultan Hamengku Buwana VIII pada tahun 1853 Jawa (1923 M). Pemugaran ini dikerjakan oleh abdi dalem Salidi Sarwadikara yang berasal dari Panumping, Surakarta. Kata katon (terlihat) melambangkan angka tiga, hati melambangkan angka lima, pangesthining (kehendak) melambangkan angka delapan, ratu (raja) melambangkan angka satu. Jadi sengkalan tersebut menunjuk pada tahun 1853 Jawa, dan mempunyai arti “Terlihat kehendak hati raja”. Makna asosiatif sengkalan tersebut menunjukkan bahwa pemugaran makam Kotagede dilaksanakan atas kehendak hati raja.

Guna Paksa Hanrus Ing Bumi. Selain sengkalan katon hati pengesthining ratu, pemugaran makam Kotagede juga ditandai dengan sengkalan guna paksa hanrus ing bumi yang menunjuk pada tahun 1923 M (1853 Jawa). Kata guna (manfaat) melambangkan angka tiga, paksa (sayap, pengetahuan) melambangkan angka dua, hanrus (berlanjut) melambangkan angka sembilan, ing (di) sebagai kata depan, bumi (manusia) melambangkan angka satu. Jadi sengkalan ini melambangkan tahun 1923 M, dan mempunyai arti “Manfaat pengetahuan yang berlanjut di bumi”. Makna asosiatif sengkalan tersebut merupakan peringatan kepada manusia, yaitu semua amal pengetahuan yang bermanfaat bagi sesama makhluk Tuhan tidak akan putus pahalanya walau telah meninggal dunia.

Huninga Marganing Salira Tunggal. Pemasangan batu nisan pertama kali pada makam Pangeran Mangkubumi, saudara Panembahan Senapati, dilaksanakan pada tanggal 19 Dzulhijah 1853 Jawa (1923 M) ditandai dengan sengkalan huninga marganing salira tunggal. Kata huninga (tahu) melambangkan angka tiga, marganing (jalan, akibat) melambangkan angka lima, salira (badan) melambangkan angka delapan, dan tunggal melambangkan angka satu. Jadi sengkalan ini melambangkan tahun 1853 Jawa, dan mempunyai “arti mengetahui jalan badan satu”.
Makna asosiatif sengkalan ini ialah manusia hendaknya mengetahui jalan untuk kembali kepada Allah. Sengkalan manusia bahwa jalan untuk kembali kepada Allah dengan melakukan amal baik selama di dunia.

Trima Nembah Gatraning Pangeran. Pemasangan batu nisan pertama kali pada makam Pangeran Mangkubumi, selain ditandai dengan sengkalan huninga marganing salira tunggal, juga ditandai dengan sengkalan trima nembah gatraning Pangeran yang menunjuk pada tahun 1923 M. Kata trima (menerima dengan iklas) melambangkan angka tiga, nembah (menyembah) melambangkan angka dua, gatraning (badan) melambangkan angka sembilan, dan kata pangeran (Tuhan) melambangkan angka satu. Jadi sengkalan tersebut menunjuk pada tahun 1923 M, dan mempunyai arti “dengan ikhlas menyembah badan Tuhan”. Kalimat tersebut merupakan petunjuk bagi manusia dengan menyembah Tuhan. Manusia menyembah Tuhan harus dengan hati yang ikhlas, sebab bila hanya dengan setengah hati maka akan sia-sia perbuatannya.

Hanata Pasareaning Brahmana Raja. Pemugaran makam Kotagede selesai tanggal 29 Syakban 1855 Jawa (1925 M), dan ditandai dengan sengkalan hanata pasareaning brahmana raja yang menunjuk pada tahun 1855 Jawa. Kata hanata (mengatur) melambangkan angka lima, pasareaning (makam) melambangkan angka lima, brahmana melambangkan angka delapan, raja melambangkan angka satu. Jadi sengkalan tersebut menunjuk pada tahun 1855 Jawa, dan mempunyai arti “Mengatur makam brahmana dan raja”. Kata brahmana dalam agama Hindu adalah kasta tertinggi dalam kalimat tersebut menunjukkan orang yang berdarah ningrat atau orang yang berkedudukan tinggi. Makna asosiatif sengkalan tersebut adalah mengatur makam raja dan kerabat raja.

Tata Samya Trusthaning Narendra. Pemugaran makam Kotagede yang selesai tahun 1855 Jawa juga ditandai dengan sengkalan tata samya trusthaning narendra yang menunjuk pada tahun 1923 M tepatnya tanggal 23 Maret 1923 M. Kata tata (atur) melambangkan angka tiga, samya (bersama-sama) melambangkan angka dua, trusthaning (kesenangan) melambangkan angka sembilan, dan narenda (raja) melambangkan angka satu. Jadi sengkalan tersebut menunjuk pada tahun 1923 M, dan mempunyai arti “Bersama-sama mengatur kesenangan raja”. Maksudnya adalah sang raja perasaannya menjadi senang ketika menyaksikan pemugaran makam Kotagede hasilnya sangat memuaskan.

Semiotika Kain Sindur pada Upacara Pernikahan Adat Jawa di Surakarta

Globalisasi menyebabkan kebudayaan berkembang tanpa batas. Ruang dan waktu merupakan konteks untuk membedakan sejarah sebuah kebudayaan. Masing-masing bangsa di dunia berlomba untuk memperlihatkan keunggulan budaya yang dimiliki. Persengketaan perihal hak milik sebuah produk budaya adalah bentuk peperangan baru di zaman ini.

Bangsa yang disegani dan dihormati bangsa lain, adalah yang mampu menjaga dan menghargai hasil-hasil budaya—bukan bangsa yang menciptakan budaya. Menjaga eksistensi budaya bangsa dapat dilakukan dengan berbagai cara. Merekonstruksi sesuai dengan bentuk lama maupun menambahkan sentuhan baru adalah salah satu cara. Mempelajari dengan mengupas bagian-bagiannya untuk mendapatkan hakekat makna, dapat memberikan kontribusi dalam ilmu pengetahuan.

Upacara adat yang masih diselenggarakan oleh masyarakat Indonesia, merupakan bentuk eksistensi. Hal tersebut sebagai indikasi bahwa kebudayaan tidak akan punah dan hilang. Permasalahan terletak pada peran serta masyarakat untuk menampilkannya secara nyata; dengan medium gambar, suara, dan tulisan.
Budaya lisan pada masyarakat Jawa menyebabkan beberapa produk budaya bersifat semu, bermakna relatif, sulit diterjemahkan, dan penuh misteri. Penafsiran dilakukan dengan bebas, sesuai dengan kaidah-kaidah tertentu lewat pengendalian logika. Dokumentasi secara tertulis diperlukan, supaya mudah dipahami oleh semua pihak. Menuliskan suatu makna produk budaya termasuk cara menjaga budaya bangsa.
Upacara adat di Indonesia bermacam-macam, karena faktor pluralitas masyarakatnya dari suku dan ras berbeda. Jawa adalah masyarakat terbesar di Indonesia. Terbagi menjadi tiga kelompok besar berdasarkan kondisi geografis dan secara administratif, yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Pada tulisan ini akan diulas perihal produk budaya dari Jawa Tengah, khususnya wilayah Surakarta. Produk budaya tersebut adalah kain sindur, yang digunakan dalam upacara pernikahan. Kain dengan teknik tritik (semacam ikat celup) ini memiliki makna khusus dan istimewa. Khusus karena digunakan sebagai busana (kemben, ikat pinggang) dan perlengkapan upacara (selendang) sekaligus. Istimewa karena menggunakan proses pembuatan dan pewarnaan yang berbeda dengan kain batik—umumnya digunakan pada sebagian besar prosesi upacara pernikahan.

Terlepas dari makna khusus dan keistimewaan yang dimiliki, kain Sindur menarik dan layak untuk dipelajari dari sudut pandang ilmu tentang tanda—semiotika. Di dalamnya mengandung nasehat-nasehat, kebijaksanaan, dan pesan tentang kehidupan manusia. Terutama bagi sepasang insan yang akan membangun keluarga. Kain Sindur mengandung filosofi, karakter, dan pola pikir masyarakat Jawa dalam memaknai sebuah peristiwa daur hidup. Pernikahan merupakan ritual penting bagi masyarakat Jawa, karena memiliki posisi sebagai awal kelahiran (bayi) dan menjelang purna hidup (mati).

1. Tanda

Tanda menurut Pierce, seorang filsuf Jerman yang juga ahli logika, merupakan elemen utama komunikasi, artinya manusia hanya berpikir dengan tanda, menurut Pierce logika adalah sinonim semiotik. Fungsi esensial dari tanda adalah untuk membuat hubungan menjadi efisien, meskipun bukan tindakan, tetapi merupakan usaha untuk menjadikannya yang umum dan operasional. Tanda diurai dengan mengambil sudut pandang dari relasinya, dibedakan atas tiga jenis yaitu:
Ikon: suatu tanda yang terjadi berdasarkan adanya persamaan potensial dengan sesuatu yang ditandakannya (seperti peta dan wilayah geografisnya, foto dengan objeknya, lukisan dengan gagasannya).
Indeks: suatu tanda yang sifatnya tergantung dari adanya suatu denotasi, atau mempunyai kaitan kausal dengan apa yang diwakilinya (seperti: ada asap pasti ada api).
Simbol: suatu tanda yang ditentukan oleh suatu aturan yang berlaku umum, kesepakatan bersama, atau konvensi (seperti: gerakan tubuh atau anggukan kepala sebagai tanda setuju). Lebih jelas bila disajikan dengan tabel sebagai berikut:
Trikotomi Ikon, Indeks dan Simbol Pierce

Tanda Ikon Indeks Simbol
Ditandai dengan persamaan (kesamaan) hubungan sebab-akibat konvensi
Contoh gambar-gambar, patung-patung, tokoh besar, foto presiden asap-api,gejala-penyakit,
bercak merah-campak kata-kata,isyarat
Proses dapat dilihat dapat diperkirakan harus dipelajari
Tanda bersifat empiris dan indrawi bila diamati dengan lingkup budaya Umberto Eco, masuk klasifikasi ke-16 dalam ranah budaya Eco yang berjumlah 19 urutan (a sampai s), yakni ranah kode-kode budaya, meliputi kajian semiotik pada sistem nilai, kebiasaan, adat tipologi kebudayaan, model kebudayaan, model organisasi sosial, sistem kekeluargaan, hingga jaringan komunikasi dari suatu kelompok masyarakat tertentu.
Dua aspek penting terdapat dalam tinjauan semiotika bahasa rupa yaitu indeks dan tanda. Indeks adalah tanda yang memiliki hubungan ketergantungan eksistensial antara tanda dan yang ditandai, atau mempunyai ikatan kausal dengan yang diwakili. Tanda adalah unsur dasar dalam semiotika dan komunikasi mencakup segala sesuatu yang mengandung arti, memiliki dua kategori yakni sebagai penanda (bentuk dasar, ikon, simbol, notasi) dan sebagai petanda (arti).

Tanda dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai lima pengertian yakni yang menjadi alamat atau yang mengatakan sesuatu, gejala, bukti, pengenal, dan petunjuk. Tidak semua tanda terlihat. Suara dapat dikategorikan sebagai tanda, begitu juga bau, rasa, dan bentuk. Beberapa tanda mempunyai dimensi visual dan mengetahui varisasi aspek-aspek visual tanda adalah hal penting sebagai pertimbangan dalam analisis. Aspek-aspek tersebut adalah penggunaan warna, ukuran, ruang lingkup, kontras, bentuk, dan detail.

2. Tanda Dalam Kebudayaan Jawa

Tanda pada kebudayaan Jawa dapat dikategorikan dalam ikon, indeks dan simbol. Kategori paling banyak adalah simbol, karena beberapa hal termasuk klasifikasi simbol. Hal-hal tersebut yakni:
1. Benda yang berujud, seperti binatang, tumbuh-tumbuhan (bunga, buah, pohon), bagian rumah, susunan keraton, motif-motif pada kain dan busana, perlengkapan upacara;
2. Warna;
3. Gerak (dengan isyarat mimik muka, bahasa tubuh, sikap);
4. Kata-kata;
5. Perbuatan yang mengandung simbol;
Bentuk kebudayaan sering diwujudkan berupa simbol-simbol. Masyarakat Jawa, kaya akan sistem simbol tersebut. Sepanjang sejarah manusia Jawa, simbol telah mewarnai tingkah laku, bahasa, ilmu pengetahuan, dan religi. Sistem simbol digunakan sebagai media untuk menyampaikan pesan. Simbol memiliki pengetahuan linuwih yang mampu memahami segala bentuk dan tujuan dari simbol-simbol itu sendiri.
Bentuk simbol dalam budaya Jawa dominan dalam segala bidang. Simbol pada kebudayaan orang Jawa, menurut sejarah, dimulai dari zaman prasejarah atau zaman belum mengenal tulisan sehingga komunikasi lewat gambar di dinding-dinding gua atau tanah liat sampai sekarang ini, dimaksudkan sebagai tanda memperingati suatu kejadian tertentu, agar segala peristiwa dapat diketahui atau diingat kembali oleh masyarakat segenarasi ataupun generasi berikutnya. Simbol dalam berbagai upacara adat mempunyai makna yang dirangkai oleh para pendahulu dan memunculkan tradisi yang terpakai secara turun temurun baik di masyarakat maupun keraton.

Masyarakat Jawa mempunyai anutan yang selalu diterapkan hampir diseluruh kehidupannya yaitu berupa dua falsafah bentuk dasar piramida dan kerucut. Bentuk dasar ini dibagi atas dua sudut pandang yakni:
Vertikal, meliputi konsep makrokosmos, tegak lurus, mengatas, alam atas. Perspektif vertikal digambarkan dalam bentuk segitiga. Bentuk dasar segitiga memiliki makna yang khas dan tercipta melalui simbol-simbol dalam kehidupan sehari-hari.
Horisontal, meliputi konsep mikrokosmos, mendatar, mendunia, alam tengah atau bawah. Sudut pandang horisontal digambarkan dengan segiempat. Bentuk segiempat garis diagonalnya lebih bersifat hubungan horisontal, hubungan sosial, kekerabatan, perbuatan manusia, kehidupan alam tengah dan kehidupan materi.
Karakter semiotika unsur simbol terdapat pada aneka jenis barang, elemen arsitektur, benda upacara, kereta, dan berbagai perabot keseharian yang mengandung ornamen.
Karakter Semiotika Unsur Simbol Pada Aneka Jenis Barang
Dalam Kebudayaan Jawa

3. Upacara Adat Jawa di Surakarta

Prosesi upacara adat yang dilaksanakan masyarakat di luar tembok keraton mempunyai perbedaan dengan di dalam lingkup keraton, terdapat batasan-batasan dan peraturan yang dibuat oleh keraton selaku pusat pemerintahan dan budaya, meskipun untuk kasunanan sudah mulai surut pengaruh kekuasaannya setelah pasca kemerdekaan Republik Indonesia.
Upacara adat yang paling umum diselenggarakan oleh masyarakat Jawa di Surakarta terdapat dua macam yakni upacara adat berdasarkan penanggalan Jawa (berkaitan dengan perayaan hari besar agama Islam) dan berkaitan dengan siklus hidup.
Upacara adat berdasarkan penanggalan Jawa di Surakarta diselenggarakan pihak Keraton Kasunanan dan Puro Mangkunagaran. Upacara adat berdasarkan penanggalan Jawa memungut pola waktu Islam dalam menghitung bulan menurut rembulan dan hari-hari suci yang berkaitan dengan itu, orang Jawa merasa berkewajiban merayakan menurut satu-satunya cara yang mereka ketahui yakni dengan mengadakan slametan.
Upacara ini dipengaruhi budaya Jawa Klasik dan Hindu dengan adanya penggunaan tari-tarian, langgam Jawa yang diiringi gamelan serta benda-benda seperti gamelan dan wayang. Upacara menurut perhitungan tanggal Jawa yakni Syuro, Sekaten, dan Syawalan.

Upacara adat Jawa di Surakarta yang berkaitan dengan siklus hidup manusia dilaksanakan sejak dari kandungan, kelahiran, perkawinan dan kematian. Pelaksanaan upacara adat itu menurut penyelenggaraannya tidak sama dalam hal detail prosesi dan jumlah perlengkapan yang digunakan. Upacara yang paling banyak jumlah tata urutan acaranya dalam siklus hidup ini adalah upacara perkawinan.
Upacara siklus hidup adalah upacara peralihan tahap (rites of passage) yang digambarkan seperti busur panah, mulai dari gerak-gerik isyarat kecil tak teratur yang melingkungi kelahiran sampai pada pesta dan hiburan besar yang diatur rapi seperti khitanan, perkawinan dan terakhir pada upacara kematian yang hening dan mencekam perasaan.
Upacara siklus hidup juga disebut crisis rites atau upacara waktu krisis dalam ilmu Antropologi, karena peristiwa-peristiwa yang dialami manusia dari lahir sampai mati, memunjukkan adanya perubahan status sosial dari kedudukan sosial yang satu beralih ke tingkat sosial lain yang lebih tinggi. Waktu peralihan ini merupakan dianggap sebagai saat-saat penuh bahaya, sehingga diadakan upacara atau pesta untuk menolak bahaya gaib.

4. Pernikahan Adat Jawa di Surakarta

Pernikahan merupakan sumbu tempat berputarnya seluruh hidup kemasyarakatan. Peralihan dari remaja ke masa berkeluarga. Menutupi taraf hidup lama dan membuka taraf hidup baru. Proses ini tidak dialami oleh perorangan, tapi tanggungjawab bersama bagi masyarakat Jawa.
Orang tua memainkan peranan penting dalam peristiwa ini. Sebelum menikahkan anak gadis atau perjaka mereka memberi pertimbangan dan persetujuan berdasarkan tata cara lama yang tidak boleh diabaikan, yakni bibit (tanaman muda yang akan ditanam, pengertiannya tingkat pendidikan), bobot (berat, pengertiannya status atau kedudukan sosial orang tua sehingga tidak menjadi neraca yang berat sebelah), dan bebet (keturunan, artinya apa si gadis atau pemuda adalah keturunan orang baik atau apa profesi dari orang tua). Selain itu juga melihat tanggal kelahiran dihitung berdasarkan neptu (nilai dari suatu hari tertentu) baik atau tidak untuk jodoh.
Setelah itu lamaran, bapak dari anak laki-laki membuat surat lamaran, jika disetujui maka keluarga perempuan membalas surat sekaligus mengundang kedatangan keluarga laki-laki guna mematangkan pembicaraan mengenai lamaran. Sekaligus merancang tentang pernikahan. Lamaran usai dilanjutkan dengan peningsetan (pengikatan), maksud dari upacara ini ialah sebagai simbol bahwa si gadis telah ada yang mempersunting.
Pihak laki-laki memberikan sejumlah barang pada kerabat si gadis yang disebut peningset. Wujud peningset ini tidak ada ketentuannya, tergantung persetujuan atau keadaan dari kedua belah pihak, dengan adanya upacara ini pemuda dan gadis telah ada dalam ikatan untuk melangsungkan perkawinan. Sebelum menikah prosesinya antara lain srah-srahan, pingitan, pasang tarub, siraman, midodareni, ijab (temu, panggih), tumplak punjen.

Orang yang pertama kali menikahkan anak perempuannya dinamakan mantu sapisanan atau mbuka kawah, sedang mantu anak bungsu dinamakan mantu regil atau tumplak punjen. Orang Jawa khususnya Surakarta, yang sibuk dalam perkawinan adalah pada pihak pengantin perempuan, sedangkan pihak laki-laki cukup memberikan sejumlah uang guna membantu pengeluaran yang dikeluarkan pihak perempuan. Ada pemberian sejumlah perhiasan, perabot rumah maupun rumahnya sendiri, selain itu saat acara ngunduh (acara setelah pernikahan dimana yang membuat acara pihak laki-laki untuk memboyong istri ke rumahnya), biaya dan pelaksana adalah pihak laki-laki. Urutan acaranya antara lain: pasang tarub, siraman, midodareni, temu, akad nikah, dan terakhir resepsi.

5. Kain Sindur Pada Pernikahan Adat Jawa di Surakarta

Kain Sindur adalah kain dengan perpaduan warna tertentu, yang digunakan pada upacara pernikahan adat Jawa di Surakarta. Keseluruhan jenis kain tersebut melambangkan kesuburan dan kemakmuran. Teknik yang digunakan untuk membuat kain Sindur adalah tritik—semacam teknik jumputan, tetapi motif tritik lebih kecil. Corak kain Sindur didapat dengan cara menjelujur kain menggunakan benang, sesuai bentuk yang diinginkan. Corak tersebut diberi nama menurut bentuknya, yakni untu walang (gigi belalang), regulon (ukiran penghias pintu—rumah adat Jawa), tapak dara (telapak kaki burung merpati), dan gadan (senjata gada).
Struktur corak kain Sindur terbagi menjadi tiga, disebut pinggiran (tepi), tengahan (bagian tengah), dan badan (antara pinggiran dan tengahan). Tengahan dapat berbentuk persegi empat, bulat, dan wajik (layang-layang).
Tata letak dan urutan warna pada kain Sindur menentukan nama dan makna. Tiap perpaduan warna mempunyai istilah, nilai, dan daya magis. Kain Sindur digunakan pada urutan acara tertentu—saat penyelenggaraan upacara pernikahan adat Jawa. Pada acara panggih, kain Sindur digunakan untuk menutupi bahu kedua mempelai pengantin (lihat lampiran).
Kain Sindur dengan perpaduan warna merah-putih dinamakan gula klapa. Sindur merah-putih digunakan sebagai ikat pinggang, kemben, penghias keris, dan kain kacar kucur pada upacara pernikahan. Merah melambangkan laki-laki, sedangkan putih melambangkan perempuan. Saat acara kacur kucur, kain Sindur digunakan untuk menampung pemberian mempelai laki-laki. sedang berkembang, ibarat seorang gadis (sang mempelai perempuan) siap dipinang. Sindur diletakkan pada pangkuan mempelai perempuan, kemudian mempelai pria menuangkan ‘nafkah’. Nafkah disimbolkan dengan beras, kedelai, dan uang logam; benda-benda kebutuhan pokok dalam hidup. Hal tersebut melambangkan laki-laki (dalam adat Jawa) berkewajiban mencari dan memberi nafkah untuk keluarga.
Kain Sindur dengan perpaduan warna hijau tua dan merah dinamakan Klabang Ngantup (lipan menyengat). Sindur jenis ini dianggap sakral, dan dipakai untuk pembungkus dan penghias benda-benda pusaka—oleh masyarakat Jawa. Disakralkan karena klabang yang berarti lipan, dianggap sebagai hewan berbisa, meskipun kecil tetapi kekuatannya mematikan.

Klabang Ngantup digunakan pada acara ngunduh mantu, yaitu rangkaian upacara pernikahan yang diadakan oleh pihak pengantin pria. Acara ini diselenggarakan beberapa hari sesudah upacara oleh pihak perempuan. Orang tua kedua mempelai menggunakan Klabang Ngantup sebagai pelapis ikat pinggang (untuk pria; bapak) dan kemben (untuk perempuan; ibu). Penggunaan tersebut melambangkan bahwa putra-putri mereka telah menapaki proses awal hidup berumah tangga—sang pengantin pria telah melaksanakan kewajiban memberi ‘nafkah batin’ untuk pertama kalinya kepada istri.
Kain Sindur berikutnya adalah dengan urutan perpaduan warna dari luar ke dalam, yakni hijau, merah, dan putih. Sindur ini dinamakan Manten Anyar (pengantin baru). Kain tersebut dikenakan oleh pasangan pengantin saat acara ngunduh mantu. Setelah acara—ngunduh mantu—usai, mempelai perempuan menggunakan kain Sindur Mayang Mekar, dengan kombinasi warna hijau tua dan hijau muda. Mayang Mekar berarti bunga kelapa yang sedang berkembang, ibarat gadis (mempelai perempuan) yang siap menuju tahap selanjutnya.
Berdasarkan uraian landasan teori, kain Sindur yang akan dianalisis pada bab ini, antara lain:
1. kain Sindur Gula Klapa;
2. kain Sindur Klabang Ngantup;
3. kain Sindur Manten Anyar; dan
4. kain Sindur Mayang Mekar.
Analisis dilakukan terhadap nama, jenis warna, corak kain, struktur corak, makna, dan fungsi kain Sindur pada pernikahan adat Jawa di Surakarta.
Konsep dan pendapat yang digunakan adalah trikotomi Charles Sanders Pierce seputar tanda, yang ia bagi menjadi ikon, indeks dan simbol. Bagian-bagian tersebut akan digolongkan sesuai dengan makna dan pengertian yang ada pada masing-masing kain, untuk memperjelas kedudukannya dalam pendekatan semiotika.

6. Ikon

Yang termasuk ikon dalam kain Sindur pada upacara pernikahan adat Jawa di Surakarta yakni jenis kain Sindur Gula Klapa dan corak kain. Penjelasannya sebagai berikut:
Kain Sindur Gula Klapa berwarna merah-putih. Warna tersebut diambil dari benda yang berwarna serupa yakni gula (Jawa dari Aren) yang berwarna merah (kecoklatan) dan klapa atau buah kelapa berdaging putih. Kain Sindur jenis lain yakni kain Sindur Klabang Ngantup, Manten Anyar, dan Mayang Mekar, tidak masuk kategori karena penamaan kain-kain tersebut berdasarkan makna.
Corak kain sindur yakni untu walang (gigi belalang), regulon (ukiran penghias pintu—rumah adat Jawa), tapak dara (telapak kaki burung merpati), dan gadan (senjata gada), diberi nama sesuai dengan bentuknya. Sesuai dengan konsep ikon pada trikotomi Pierce, kesesuaian bentuk dan nama yang digunakan dapat dilihat langsung (secara visual).

7. Indeks

Yang termasuk indeks dalam kain Sindur pada upacara pernikahan adat Jawa di Surakarta yakni fungsi kain. Pada upacara lain yang diselenggarakan masyarakat Jawa tidak menggunakan kain jenis ini, sehingga bila terdapat acara yang menggunakan kain Sindur, dapat dipastikan upacara pernikahan adat Jawa.
Masing-masing kain Sindur, yakni Gula Klapa, Klabang Ngantup, Manten Anyar, dan Mayang Mekar, digunakan untuk acara yang berbeda. Gula Klapa untuk acara kacar kucur. Untuk acara ngunduh mantu menggunakan Klabang Ngantup dikenakan orang tua kedua mempelai dan Manten Anyar dikenakan oleh pasangan pengantin. Mayang Mekar digunakan saat purna acara atau rangkaian upacara pernikahan usai.

8. Simbol

Yang termasuk simbol dalam kain Sindur pada upacara pernikahan adat Jawa di Surakarta adalah nama, jenis warna, corak kain, struktur corak, makna, dan fungsi kain, karena bagian-bagian tersebut mewakili dari keseluruhan maksud yang disampaikan dalam suatu sistem.
Sistem yang dimaksud adalah acara pernikahan yang meliputi kacar kucur, panggih, ngunduh mantu, dan purna acara (setelah rangkaian acara usai). Hal-hal yang disimbolkan pada masing-masing jenis kain Sindur mengandung arti kemakmuran dan kesuburan.
Nama kain Sindur, yakni Gula Klapa, Klabang Ngantup, Manten Anyar, dan Mayang Mekar berdasarkan jenis warna, corak kain, struktur corak. Hal-hal tersebut melahirkan makna dan diikuti dengan fungsi sesuai makna kain Sindur.