Jumat, 19 Desember 2008

Tentang Keraton Surakarta Hadiningrat


Keraton Surakarta atau dalam bahasa Jawa disebut Karaton Surakarta Hadiningrat, merupakan bekas Istana Kerajaan Kasunanan Surakarta Hadiningrat (1755-1946). Keraton ini didirikan oleh Susuhunan Pakubuwono II (Sunan PB II) pada tahun 1744 sebagai pengganti Istana/Keraton Kartasura yang porak-poranda akibat Geger Pecinan 1743. Istana terakhir Kerajaan Mataram didirikan di desa Sala (Solo), sebuah pelabuhan kecil di tepi barat Bengawan (sungai) Beton/Sala. Setelah resmi istana Kerajaan Mataram selesai dibangun, nama desa itu diubah menjadi Surakarta Hadiningrat. Istana ini pula menjadi saksi bisu penyerahan kedaulatan Kerajaan Mataram oleh Sunan PB II kepada VOC di tahun 1749. Setelah Perjanjian Giyanti tahun 1755, keraton ini kemudian dijadikan istana resmi bagi Kasunanan Surakarta sampai dengan tahun 1946, ketika Pemerintah Indonesia secara resmi menghapus Kasunanan Surakarta dan menjadikannya sebuah karesidenan langsung di bawah Presiden Indonesia.

Kemegahan Arsitektural
Keraton (Istana) Surakarta merupakan salah satu bangunan yang eksotis di zamannya. Salah satu arsitek istana ini adalah Pangeran Mangkubumi (kelak bergelar Sultan Hamengkubuwono I) yang juga menjadi arsitek utama Keraton Yogyakarta. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika pola dasar tata ruang kedua keraton tersebut (Yogyakarta dan Surakarta) banyak memiliki persamaan umum. Keraton Surakarta sebagaimana yang dapat disaksikan sekarang ini tidaklah dibangun serentak pada 1744-45, namun dibangun secara bertahap dengan mempertahankan pola dasar tata ruang yang tetap sama dengan awalnya. Pembangunan dan restorasi secara besar-besaran terakhir dilakukan oleh Susuhunan Pakubuwono X (Sunan PB X) yang bertahta 1893-1939. Sebagian besar keraton ini bernuansa warna putih dan biru dengan arsitekrur gaya campuran Jawa-Eropa.

Secara umum pembagian keraton meliputi: Kompleks Alun-alun Lor/Utara, Kompleks Sasana Sumewa, Kompleks Sitihinggil Lor/Utara, Kompleks Kamandungan Lor/Utara, Kompleks Sri Manganti, Kompleks Kedhaton, Kompleks Kamagangan, Kompleks Srimanganti Kidul/Selatan (?) dan Kemandungan Kidul/Selatan, serta Kompleks Sitihinggil Kidul dan Alun-alun Kidul. Kompleks keraton ini juga dikelilingi dengan baluwarti, sebuah dinding pertahanan dengan tinggi sekitar tiga sampai lima meter dan tebal sekitar satu meter tanpa anjungan. Dinding ini melingkungi sebuah daerah dengan bentuk persegi panjang. Daerah itu berukuran lebar sekitar lima ratus meter dan panjang sekitar tujuh ratus meter. Kompleks keraton yang berada di dalam dinding adalah dari Kemandungan Lor/Utara sampai Kemandungan Kidul/Selatan. Kedua kompleks Sitihinggil dan Alun-alun tidak dilingkungi tembok pertahanan ini.


Kompleks Alun-alun Lor/Utara


Kompleks ini meliputi Gladhag, Pangurakan, Alun-alun utara, dan Masjid Agung Surakarta. Gladhag yang sekarang dikenal dengan perempatan Gladhag di Jalan Slamet Riyadi Surakarta, pada zaman dulu digunakan sebagai tempat mengikat binatang buruan yang ditangkap dari hutan. Alun-alun merupakan tempat diselenggarakannya upacara-upacara kerajaan yang melibatkan rakyat. Selain itu alun-alunmenjadi tempat bertemunya raja dan rakyatnya. Di pinggir alun-alun ditanami sejumlah pohon beringin. Di tengah-tengah alun alun terdapat dua batang pohon beringin (Ficus benjamina; Famili Moraceae) yang diberi pagar. Kedua batang pohon ini disebut Waringin Sengkeran (harifah: beringin yang dikurung) yang diberi nama Dewodaru dan Joyodaru. Di sebelah barat alun-alun utara berdiri Mesjid Ageng (Masjid Raya) Surakarta. Masjid raya ini merupakan masjid resmi kerajaan dan didirikan oleh Susuhunan Pakubuwono III (Sunan PB III) pada tahun 1750 (Kasunanan Surakarta merupakan kerajaan Islam). Bangunan utamanya terdiri dari atas serambi dan masjid induk.


Kompleks Sasana Sumewa dan kompleks Sitihinggil Lor/Utara


Sasana Sumewa merupakan bangunan utama terdepan di Keraton Surakarta. Tempat ini pada zamannya digunakan sebagai tempat untuk menghadap para punggawa (pejabat menengah ke atas) dalam upacara resmi kerajaan. Di kompleks ini terdapat sejumlah meriam diantaranya di beri nama Kyai Pancawura atau Kyai Sapu Jagad. Meriam ini dibuat pada masa pemerintahan Sultan Agung. Di sebelah selatan Sasana Sumewa terdapat kompleks Sitihinggil.


Sitihinggil merupakan suatu kompleks yang dibangun di atas tanah yang lebih tinggi dari sekitarnya. Kompleks ini memiliki dua gerbang, satu disebelah utara yang disebut dengan Kori Wijil dan satu disebelah selatan yang disebut dengan Kori Renteng. Pada tangga Sitihinggil sebelah utara terdapat sebuah batu yang digunakan sebagai tempat pemenggalan kepala Trunajaya yang disebut dengan Selo Pamecat.


Bangunan utama di kompleks Sitihinggil adalah Sasana Sewayana yang digunakan para pembesar dalam menghadiri upacara kerajaan. Selain itu terdapat Bangsal Manguntur Tangkil, tempat tahta Susuhunan, dan Bangsal Witono, tempat persemayaman Pusaka Kebesaran Kerajaan selama berlangsungnya upacara. Bangsal yang terakhir ini memiliki suatu bangunan kecil di tengah-tengahnya yang disebut dengan Krobongan Bale Manguneng, tempat persemayaman pusaka keraton Kangjeng Nyai Setomi, sebuah meriam yang konon dirampas oleh tentara Mataram dari VOC saat menyerbu Batavia. Sisi luar timur-selatan-barat kompleks Sitihinggil merupakan jalan umum yang dapat dilalui oleh masyarakat yang disebut dengan Supit Urang (harfiah=capit udang).


Kompleks Kemandungan Lor/Utara

Kori Brajanala (brojonolo) atau Kori Gapit merupakan pintu gerbang masuk utama dari arah utara ke dalam halaman Kemandungan utara. Gerbang ini sekaligus menjadi gerbang cepuri (kompleks dalam istana yang dilingkungi oleh dinding istana yang disebut baluwarti) yang menghubungkan jalan sapit urang dengan halaman dalam istana. Gerbang ini dibangun oleh Susuhunan Paku Buwono III dengan gaya Semar Tinandu. Di sisi kanan dan kiri (barat dan timur) dari Kori Brajanala sebelah dalam terdapat Bangsal Wisomarto tempat jaga pengawal istana. Selain itu di timur gerbang ini terdapat menara lonceng. Di tengah-tengah kompleks ini hanya terdapat halaman kosong. Bangunan yang terdapat dalam kompleks ini hanya di bagian tepi halaman. Dari halaman ini pula dapat dilihat sebuah menara megah yang disebut dengan Panggung Sangga Buwana (Panggung Songgo Buwono) yang terletak di kompleks berikutnya.

Kompleks Sri Manganti.


Untuk memasuki kompleks ini dari sisi utara harus melalui sebuah pintu gerbang yang disebut dengan Kori Kamandungan. Di depan sisi kanan dan kiri gerbang yang bernuansa warna biru dan putih ini terdapat dua arca. Di sisi kanan dan kiri pintu besar ini terdapat cermin besar dan diatasnya terdapat suatu hiasan yang terdiri dari senjata dan bendera yang ditengahnya terdapat lambang kerajaan. Hiasan ini disebut dengan Bendero Gulo Klopo. Di halaman Sri Manganti terdapat dua bangunan utama yaitu Bangsal Smarakatha disebelah barat dan Bangsal Marcukundha di sebelah timur.

Pada zamannya Bangsal Smarakatha digunakan untuk menghadap para pegawai menengah ke atas dengan pangkat Bupati Lebet ke atas. Tempat ini pula mejadi tempat penerimaan kenaikan pangkat para pejabat senior. Sekarang tempat ini digunakan untuk latihan menari dan mendalang. Bangsal Marcukundha pada zamannya digunakan untuk menghadap para opsir prajurit, untuk kenaikan pangkat pegawai dan pejabat yunior, serta tempat untuk menjatuhkan vonis hukuman bagi kerabat raja. Sekarang tempat ini untuk menyimpan Krobongan Madirenggo, sebuah tempat untuk upacara sunat/kitan para putra Susuhunan.

Di sisi barat daya Bangsal Marcukundha terdapat sebuah menara bersegi delapan yang disebut dengan Panggung Sangga Buwana. Menara yang memiliki tinggi sekitar tiga puluhan meter ini sebenarnya terletak di dua halaman sekaligus, halaman Sri Manganti dan halaman Kedhaton. Namun demikian pintu utamanya terletak di halaman Kedhaton.

Kompleks Kedhaton


Kori Sri Manganti menjadi pintu untuk memasuki kompleks Kedhaton dari utara. Pintu gerbang yang dibangun oleh Susuhunan Pakubuwono IV pada 1792 ini disebut juga dengan Kori Ageng. Bangunan ini memiliki kaitan erat dengan Pangung Sangga Buwana secara filosofis. Pintu yang memiliki gaya Semar Tinandu ini digunakan untuk menunggu tamu-tamu resmi kerajaan. Bagian kanan dan kiri pintu ini memiliki cermin dan sebuah ragam hias diatas pintu. Halaman Kedhaton dialasi dengan pasir hitam dari pantai selatan dan ditumbuhi oleh berbagai pohon langka antara lain 76 batang pohon Sawo Kecik (Manilkara kauki; Famili Sapotaceae). Selain itu halaman ini juga dihiasi dengan patung-patung bergaya eropa. Kompleks ini memiliki bangunan utama diantaranya adalah Sasana Sewaka, nDalem Ageng Prabasuyasa, Sasana Handrawina, dan

Panggung Sangga Buwana.


Sasana Sewaka aslinya merupakan bangunan peninggalan pendapa istana Kartasura. Tempat ini pernah mengalami sebuah kebakaran di tahun 1985. Di bangunan ini pula Susuhunan bertahta dalam upacara-upacara kebesaran kerajaan seperti garebeg dan ulang tahun raja. Di sebelah barat Sasana ini terdapat Sasana Parasdya, sebuah peringgitan. Di sebelah barat Sasana Parasdya terdapat nDalem Ageng Prabasuyasa. Tempat ini merupakan bangunan inti dan terpenting dari seluruh Keraton Surakarta Hadiningrat. Di tempat inilah disemayamkan pusaka-pusaka dan juga tahta raja yang menjadi simbol kerajaan. Di lokasi ini pula seorang raja bersumpah ketika mulai bertahta sebelum upacara pemahkotaan dihadapan khalayak.

Sitihinggil utara.


Bangunan berikutnya adalah Sasana Handrawina. Tempat ini digunakan sebagai tempat perjamuan makan resmi kerajaan. Kini bangunan ini biasa digunakan sebagi tempat seminar maupun gala dinner tamu asing yang datang ke kota Solo. Bangunan utama lainnya adalah Panggung Sangga Buwana. Menara ini digunakan sebagai tempat meditasi Susuhunan sekaligus untuk mengawasi benteng VOC/Hindia Belanda yang berada tidak jauh dari istana. Bangunan yang memiliki lima lantai ini juga digunakan untuk melihat posisi bulan untuk menentukan awal suatu bulan. Di puncak atap teratas terdapat ornamen yang melambangkan tahun dibangunnya menara tertua di kota Surakarta.


Sebelah barat kompleks Kedhaton merupakan tempat tertutup bagi masyarakat umum dan terlarang untuk dipublikasikan sehingga tidak banyak yang mengetahui kepastian sesungguhnya. Kawasan ini merupakan tempat tinggal resmi raja dan keluarga kerajaan yang masih digunakan hingga sekarang.

Kompleks-kompleks Magangan, dan Sri Manganti, Kemandungan, serta Sitihinggil Kidul (Selatan) Kompleks Magangan dahulunya digunakan oleh para calon pegawai kerajaan. Di tempat ini terdapat sebuah pendapa di tengah-tengah halaman. Dua kompleks berikutnya, Sri Manganti Kidul/Selatan dan Kemandungan Kidul/Selatan hanyalah berupa halaman yang digunakan saat upacara pemakaman raja maupun permaisuri. Kompleks terakhir, Sitihinggil kidul termasuk alun-alun kidul, memiliki sebuah bangunan kecil. Kini kompleks ini digunakan untuk memelihara pusaka keraton yang berupa kerbau albino yang disebut dengan Kyai Slamet.

Warisan Budaya (Cultural Heritage)

Selain memiliki kemegahan bangunan Keraton Surakarta juga memiliki suatu warisan budaya yang tak ternilai. Diantarannya adalah upacara-upacara adat, tari-tarian sakral, musik, dan pusaka (heirloom). Upacara adat yang terkenal adalah upacara Garebeg, upacara Sekaten, dan upacara Malam Satu Suro. Upacara yang berasal dari zaman kerajaan ini hingga sekarang terus dilaksanakan dan merupakan warisan budaya Indonesia yang harus dilindungi dari klaim pihak asing.


Garebeg


Upacara Garebeg diselenggarakan tiga kali dalam satu tahun kalender/penanggalan Jawa yaitu pada tanggal dua belas bulan Mulud (bulan ketiga), tanggal satu bulan Sawal (bulan kesepuluh) dan tanggal sepuluh bulan Besar (bulan kedua belas). Pada hari hari tersebut raja mengeluarkan sedekahnya sebagai perwujudan rasa syukur kepada Tuhan atas kemakmuran kerajaan. Sedekah ini, yang disebut dengan Hajad Dalem, berupa pareden/gunungan yang terdiri dari gunungan kakung dan gunungan estri (lelaki dan perempuan).


Gunungan kakung berbentuk seperti kerucut terpancung dengan ujung sebelah atas agak membulat. Sebagian besar gunungan ini terdiri dari sayuran kacang panjang yang berwarna hijau yang dirangkaikan dengan cabai merah, telur itik, dan beberapa perlengkapan makanan kering lainnya. Di sisi kanan dan kirinya dipasangi rangkaian bendera Indonesia dalam ukuran kecil. Gunungan estri berbentuk seperti keranjang bunga yang penuh dengan rangkaian bunga. Sebagian besar disusun dari makanan kering yang terbuat dari beras maupun beras ketan yang berbentuk lingkaran dan runcing. Gunungan ini juga dihiasi bendera Indonesia kecil di sebelah atasnya.


Sekaten


Sekaten merupakan sebuah upacara kerajaan yang dilaksanakan selama tujuh hari. Konon asal-usul upacara ini sejak kerajaan Demak. Upacara ini sebenarnya merupakan sebuah perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad. Menurut cerita rakyat kata Sekaten berasal dari istilah credo dalam agama Islam, Syahadatain. Sekaten dimulai dengan keluarnya dua perangkat Gamelan Sekati, Kyai Gunturmadu dan Kyai Guntursari, dari keraton untuk ditempatkan di depan Masjid Agung Surakarta. Selama enam hari, mulai hari keenam sampai kesebelas bulan Mulud dalam kalender Jawa, kedua perangkat gamelan tersebut dimainkan/dibunyikan (Jw: ditabuh) menandai perayaan sekaten. Akhirnya pada hari ketujuh upacara ditutup dengan keluarnya Gunungan Mulud. Saat ini selain upacara tradisi seperti itu juga diselenggarakan suatu pasar malam yang dimulai sebulan sebelum penyelenggaraan upacara sekaten yang sesungguhnya.


Malam Satu Suro


Malam satu suro dalam masyarakat Jawa adalah suatu perayaan tahun baru menurut kalender Jawa. Malam satu suro jatuh mulai terbenam matahari pada hari terakhir bulan terakhir kalender Jawa (30/29 Besar) sampai terbitnya matahari pada hari pertama bulan pertama tahun berikutnya (1 Suro). Di Keraton Surakarta upacara ini diperingati dengan Kirab Mubeng Beteng (Perarakan Mengelilingi Benteng Keraton). Upacara ini dimulai dari kompleks Kemandungan utara melalui gerbang Brojonolo kemudian mengitari seluruh kawasan keraton dengan arah berkebalikan arah putaran jarum jam dan berakhir di halaman Kemandungan utara. Dalam prosesi ini pusaka keraton menjadi bagian utama dan diposisikan di barisan depan kemudian baru diikuti para pembesar keraton, para pegawai dan akhirnya masyarakat. Suatu yang unik adalah di barisan terdepan ditempatkan pusaka yang berupa sekawanan kerbau albino yang diberi nama Kyai Slamet yang selalu menjadi pusat perhatian masyarakat.


Pusaka (heirloom) dan tari-tarian sakral

Keraton Surakarta memiliki sejumlah koleksi pusaka kerajaan diantaranya berupa singgasana raja, perangkat musik gamelan dan koleksi senjata. Di antara koleksi gamelan adalah Kyai Guntursari dan Kyai Gunturmadu yang hanya dimainkan/dibunyikan pada saat upacara Sekaten. Selain memiliki pusaka keraton Surakarta juga memiliki tari-tarian khas yang hanya dipentaskan pada upacara-upacara tertentu. Sebagai contoh tarian sakral adalah Bedaya Ketawang yang dipentaskan pada saat pemahkotaan raja.


Pemangku Adat Jawa Surakarta


Semula keraton Surakarta merupakan Lembaga Istana (Imperial House) yang mengurusi raja dan keluarga kerajaan disamping menjadi pusat pemerintahan Kesunanan Surakarta. Setelah Kesunanan Surakarta dinyatakan hapus oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1946, peran keraton Surakarta tidak lebih sebagai Pemangku Adat Jawa khususnya garis/gaya Surakarta. Begitu pula Susuhunan tidak lagi berperan dalam urusan kenegaraan sebagai seorang raja dala artian politik melainkan sebagai Yang Dipertuan Pemangku Tahta Adat, pemimpin informal kebudayaan. Fungsi keraton pun berubah menjadi pelindung dan penjaga identitas budaya Jawa khususnya gaya Surakarta. Walaupun dengan fungsi yang terbatas pada sektor informal namun keraton Surakarta tetap memiliki kharisma tersendiri di lingkungan masyarakat Jawa khususnya di bekas daerah Kesunanan Surakarta. Selain itu keraton Surakarta juga memberikan gelar kebangsawanan kehormatan (honoriscausa) pada mereka yang mempunyai perhatian kepada budaya Jawa khususnya Surakarta disamping mereka yang berhak karena hubungan darah maupun karena posisi mereka sebagai pegawai (abdidalem) keraton. Pada saat ini, Keraton Surakarta dipimpin oleh Paku Buwono XIII Hangabehi, putra tertua Paku Buwono XII.


Filosofi dan Mitologi seputar Keraton


Setiap nama bangunan maupun upacara, bentuk bangunan maupun benda-benda upacara, letak bangunan, begitu juga prosesi suatu upacara dalam keraton memiliki makna atau arti filosofi masing-masing. Namun sungguh disayangkan makna-makna tersebut sudah tidak banyak yang mengetahui dan kurang begitu mendapat perhatian. Beberapa diantaranya akan ditunjukkan dalam paragraf berikut.


Cermin besar di kanan dan kiri Kori Kemadungan mengadung makna introspeksi diri. Nama Kemandungan sendiri berasal dari kata mandung yang memiliki arti berhenti. Nama bangsal Marcukundha berasal dari kata Marcu yang berarti api dan kundho yang berarti wadah/tempat, sehingga Marcukundho melambangkan suatu doa/harapan. Menara Panggung Sangga Buwana adalah simbol Lingga dan Kori Sri Manganti di sebelah baratnya adalah simbol Yoni. Simbol Lingga-Yoni dalam masyarakat Jawa dipercaya sebagai suatu simbol kesuburan. Dalam upacara garebeg dikenal dengan adanya sedekah raja yang berupa gunungan. Gunungan tersebut melambangkan sedekah yang bergunung-gunung.


Selain itu keraton Surakarta juga memiliki mistik dan mitos serta legenda yang berkembang di tengah masyarakat. Seperti makna filosofi yang semakin lenyap, mistik dan mitos serta legenda inipun juga semakin menghilang. Sebagai salah satu contoh adalah kepercayaan sebagian masyarakat dalam memperebutkan gunungan saat garebeg. Mereka mempercayai bagian-bagian gunungan itu dapat mendatangkan tuah berupa keuangan yang baik maupun yang lainnya.


Selain itu ada legenda mengenai usia Nagari Surakarta. Ketika istana selesai dibangun muncul sebuah ramalan bahwa kerajaan Surakarta hanya akan berjaya selama dua ratus tahun. Setelah dua ratus tahun maka kekuasaan raja hanya akan selebar mekarnya sebuah payung (Jw: kari sak megare payung). Legenda inipun seakan mendapat pengesahan dengan kenyataan yang terjadi. Apabila dihitung dari penempatan istana secara resmi pada 1745/6 maka dua ratus tahun kemudian pada 1945 Indonesia merdeka kekuasaan Kesusnanan benar-benar merosot. Setahun kemudian pada 1946 Kesunanan Surakarta benar-benar dihapus dan kekuasaan Susuhunan benar-benar habis dan hanya tinggal atas kerabat dekatnya saja.


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Kesalehan Kultural Tradisi ”Syawalan”

Setiap tradisi yang mampu bertahan lama, pastilah melalui proses evolusi kebudayaan yang panjang dan memiliki kesamaan akar historis. Evolusi yang diikuti akulturasi itu, pada akhirnya menimbulkan keselarasan dan kecocokan dengan masyarakat penganutnya. Tesis itu, sangat relevan diajukan guna mengungkap tradisi ”syawalan”, yang dilakukan oleh masyarakat Jawa secara turun-temurun.

Istilah syawalan atau sering disebut halal bihalal, memang berasal dari bahasa Arab. Uniknya, istilah itu tidak dikenal oleh masyarakat Arab, karena memang tidak terdapat dalam tradisi dan kebudayaan mereka. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, syawalan memiliki arti “acara maaf-memaafkan” pada hari Lebaran. Sementara, istilah halal bihalal merupakan kata majemuk yang terdiri atas pengulangan kata ba-hasa Arab halal (baik atau diperbo-lehkan) yang diapit satu kata peng-hubung ba (Quraish Shihab, 1992).

Tradisi syawalan, kata Umar Kayam (1997), merupakan kreatifitas akulturasi budaya Jawa dan Islam. Ketika Islam hendak bersinggungan dengan budaya Jawa, timbul ketegangan-ketegangan yang muaranya menimbulkan disharmoni. Melihat fenomena itu, para ulama Jawa lantas menciptakan akulturasi-akulturasi budaya, yang memungkinkan agama baru itu diterima oleh masya-rakat JaRata Penuhwa. Singkatnya, para ulama di Jawa dahulu dengan segenap kearifannya, mampu memadukan kedua budaya yang bertolak belakang, demi kerukunan dan kesejahteraan masyarakat.

Sungkeman dan Ketupat

Siapa yang mula-mula mengenalkan tradisi syawalan, belum diketahui secara pasti. Menurut Ibnu Djarir (2007), tradisi syawalan dirintis oleh KGPAA Mangkunegara I, yang terkenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa. Dalam rangka menghemat waktu, tenaga, pikiran, dan biaya, maka setelah salat Idul Fitri diadakan pertemuan antara Raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana. Semua punggawa dan prajurit, dengan tertib dan teratur melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri. Tradisi sungkem yang merupakan inti kegiatan syawalan, mengalami perluasan seiring dengan perkembangan zaman. Sungkeman saat ini dilakukan kepada semua orang tua.

Makna sungkeman itu, sejatinya sangat mulia dan terpuji. Sebagai lambang penghormatan kepada yang lebih tua, dan permohonan maaf. Seusai sungkeman, biasanya dilakukan jamuan makan dengan menu utama ketupat yang disebut kupat luar. Bagi masyarakat Jawa, ketupat memiliki makna filosofi yang dalam. Biasanya dibuat dari tiga bahan utama, yaitu janur kuning, beras, dan santan. Janur kuning atau pelepah daun kelapa muda, merupakan lambang tolak bala atau penolak bahaya. Kemudian, beras sebagai simbol kemakmuran, dianggap sebagai doa agar masyarakat diberi kelimpahan kemakmuran setelah hari raya. Sementara santan (sari buah kelapa) yang dalam bahasa jawa disebut santen, berima dengan kata ngapunten, yang berarti memohon maaf

Kata Kupat Luar sendiri berasal dari kata “Pat” atau “Lepat” (kesalahan) dan “Luar” yang berarti di luar, atau terbebas atau terlepas. Maknanya, dengan memakan ketupat, orang diharapkan akan ingat kembali bahwa mereka sudah terlepas dan terbebas dari kesalahan. Selanjutnya, mereka berkewajiban untuk saling meminta dan memberi maaf agar kebebasan itu benar-benar sem-purna. Makna yang lain, ketupat berasal dari singkatan Ngaku Lepat yang berarti mengakui kesalahan. Maknanya, dengan tradisi ketupat diharapkan setiap orang mau mengakui kesalahan, sehingga memudahkan diri untuk memaafkan kesalahan orang lain. Singkatnya, semua dosa yang ada akan saling terlebur bersamaan dengan hari raya idul fitri. Adapun bentuk ketupat yang persegi, menjadi simbol atau perwujudan cara pandang kiblat papat lima pancer. Cara pandang itu menegasikan adanya harmonisasi dan keseimbangan alam: empat arah mata angin utama, yaitu timur, selatan, barat, dan utara yang bertumpu pada satu pusat. Maknanya, manusia dalam kehidupan, ke arah manapun dia pergi, hendaknya tidak pernah melupakan pancer yaitu Tuhan yang Maha Esa.

Merekatkan Persatuan

Kiblat papat lima pancer ini, dapat juga diartikan sebagai empat macam nafsu manusia, yaitu amarah, yakni nafsu emosional, aluamah atau nafsu untuk memuaskan rasa lapar, supiah adalah nafsu untuk memiliki sesuatu yang indah, dan mutmainah, nafsu untuk memaksa diri. Keempat nafsu ini yang ditaklukkan orang selama berpuasa. Jadi, dengan memakan ketupat orang disimbolkan sudah mampu menaklukkan keempat nafsu tersebut. Tradisi syawalan yang dilakukan oleh Pangeran Sambernyawa itu, kini dilestarikan oleh organisasi-organisasi Islam, maupun instansi pemerintah dan swasta dengan istilah halal bihalal. Menariknya, peserta halal bihalal, tidak hanya umat Islam, tetapi seluruh warga masyarakat dari berbagai pemeluk agama, suku, ras dan golongan. Tradisi itu bukan lagi milik umat Islam dan masyarakat Jawa saja, tetapi menjadi milik segenap bangsa Indonesia. Tradisi ini juga kaya dengan kearifan dan kesalehan yang relevan dengan konteks kekinian.

Ia bisa diartikan sebagai hubungan antarmanusia untuk saling berinteraksi melalui aktivitas yang tidak dilarang, plus mengandung sesuatu yang baik dan menyenangkan. Maka, berhalal bihalal, mestinya tidak semata-mata dengan memaafkan melalui perantara lisan atau kartu ucapan selamat saja, tetapi harus diikuti perbuatan yang baik dan menyenangkan bagi orang lain khususnya yang diajak berhalal bihalal.

Syawalan juga merekatkan persatuan dan kesatuan, dan mendorong orang untuk jujur. Adanya kerelaan untuk saling memaafkan, sudah membuktikan mencairnya individualitas, strata sosial, egoisme, sektarian dan sebagainya. Orang juga dituntut untuk jujur, mau mengakui kesalahan dan lantas meminta maaf. Kejujuran dan kerelaan hati untuk memaafkan ini, merupakan terapi psikologis yang sangat ampuh bagi setiap orang. Pasalnya, dengan lepas dan hilangnya dosa-dosa, orang akan merasa damai, tenang dan tentram. Pada akhirnya, dalam masyarakat yang kian terkepung aneka kepentingan primordial atau kepentingan yang mengatasnamakan apa pun yang eksploitatif dan tiranik, penuh konflik kepentingan bahkan sampai pertikaian atau perang, Idul Fitri dengan tradisi syawalannya, diharapkan mampu menghadirkan kesejukan, keharmonisan, dan obat-obat kemanusiaan lainnya.

Oleh : Agus Wibowo